Bagaimana Marvel Merancang Avengers: Age of Ultron Jadi Sukses?

Menelisik rahasia sukses Marvel Studios yang baru saja merilis Avengers: Age of Ultron.

oleh Ade Irwansyah diperbarui 27 Apr 2015, 16:40 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2015, 16:40 WIB
Avengers: Age of Ultron, Film Superhero Mahadahsyat 2015
Akhirnya, Avengers: Age of Ultron tiba di seluruh bioskop Indonesia sejak 22 April 2015. Bagaimana filmnya?

Liputan6.com, Jakarta Di sejumlah belahan dunia, termasuk di Indonesia, para pahlawan super Avengers sudah mendominasi bioskop sejak Rabu (22/4/2015) kemarin.

Disney memperkirakan dari debut internasionalnya, Avengers diprediksi mengumpulkan pemasukan USD 160 juta sampai USD 175 juta atau setara Rp 2-2,2 triliun di minggu pertama.

Nyatanya yang terjadi di luar perkiraan. filmnya mengumpulkan USD 201,2 juta atau setara Rp 2,6 triliun di minggu pertama.

Saat ini, Avengers: Age of Ultron telah rilis di negara-negara Eropa seperti Prancis, Italia dan Inggris, Rusia, Korea, serta sejumlah negara lain. Film rilisan Marvel Studios itu telah beredar di 55 persen pasar film dunia. Di Amerika sendiri filmnya baru akan rilis 1 Mei nanti.

Di bioskop-bioskop Tanah Air, Avengers: Age of Ultron diputar di banyak bioskop dari pulau Sumatra hingga Papua. Sejumlah bioskop bahkan memutar sampai empat layar sekaligus.

Akhirnya, Avengers: Age of Ultron tiba di seluruh bioskop Indonesia sejak 22 April 2015. Bagaimana filmnya?

Pertanyaannya kemudian, kenapa penduduk Bumi seakan begitu antusias menyambut film terbaru keluaran Marvel Studios itu? Lalu, apa yang membuat Avengers: Age of Ultron seolah menjadi tontonan wajib di bioskop?

Seperti yang mungkin Anda sudah ketahui, Marvel awalnya adalah penerbit komik yang melahirkan para superhero macam X-Men, Spider-Man, Iron Man, Hulk, Captain America, Thor dan banyak lagi. Di AS, Marvel bersaing ketat dengan DC Comics yang memiliki Superman, Batman, Wonder Woman, dll.

Spider-Man kemudian hak memfilmkannya jatuh ke Sony Pictures. X-Men dipegang 20th Century Fox. Marvel Studios memiliki hak memfilmkan Iron Man, Thor, Captain America, Hulk (yang sudah tak lagi dimiliki Universal), dan berbagai superhero lain yang jarang dikenal awam.

Tahun 2008 Marvel Studios merilis film superhero Hulk dan Iron Man sendiri, tanpa bekerjasama dengan studio lain. Hasilnya memuaskan. Saat itulah jagat sinema Marvel atawa Marvel Cinematic Universe dimulai.

Tahun berikutnya, Disney membeli Marvel Studios dengan harga USD 4 miliar atau setara Rp 44 triliun.

Tradisi Crossover dan Continuity

Avengers: Age of Ultron, Film Superhero Mahadahsyat 2015
Akhirnya, Avengers: Age of Ultron tiba di seluruh bioskop Indonesia sejak 22 April 2015. Bagaimana filmnya?

Tradisi Crossover dan Continuity

Di bawah Disney, Marvel Studios kian matang merancang jagat sinemanya. Mengikuti tradisi crossover event di komik, filmnya ingin memiliki continuity antara satu film dengan yang lain.

Film macam Avengers boleh dibilang sebuah crossover event alias saat bergabungnya sejumlah superhero yang masing-masing punya cerita sendiri-sendiri.

Nah, sebuah crossover event yang baik mensyaratkan continuity.

Sedang continuity atau kontinuitas mensyaratkan para jagoan super diharuskan memiliki riwayat hidup yang lengkap, dan memiliki konsistensi dalam cerita mereka sendiri ataupun saat tampil menjadi bintang tamu di cerita lain.

Jagoan-jagoan ini juga memiliki domisili yang jelas, dan bisa bersilaturahmi (atau kadang bermusuhan) dengan jagoan lainnya.

Akhirnya, Avengers: Age of Ultron tiba di seluruh bioskop Indonesia sejak 22 April 2015. Bagaimana filmnya?

Sigit T. Prabowo di suplemen Ruang Baca Koran Tempo edisi Juli 2008 menyebutkan, "Misalnya bila The Flash bulan ini tampil sebagai bintang tamu dalam Batman dan kakinya patah, efek dari patah kakinya itu harus tecermin pula dalam komik Flash sendiri dan juga dalam penampilan Flash di komik-komik lain."

Marvel sudah menyiapkan betul kontinuitas bagi sebuah event besar pertemuan para superheronya di The Avengers.
Selain benang merah ceritanya, Marvel berusaha mempertahankan para aktor/aktris dari film-film superheronya terdahulu juga ikutan main The Avengers (walau kemudian Edward Norton diganti Mark Ruffalo).

Membuat film berisi Thor (Chris Hemsworth), Iron Man (Robert Downey Jr.), Captain America (Chris Evans), Hulk (Mark Ruffalo), Black Widow (Scarlett Johansson) serta Hawkeye (Jeremy Renner) di satu layar tidaklah murah. Avengers: Age of Ultron menghabiskan bujet USD 250 juta atau setara Rp 3,2 triliun.

Namun ya itu tadi, Marvel Studios berani bertaruh uang sebanyak itu bakal balik dalam waktu cepat dan malah untung besar.

Sebab, mereka punya rahasia sukses untuk film-film superhero. Apakah itu?

Komite Kreatif Marvel

5 Adegan Paling Seru di Avengers: Age of Ultron (SPOILER ALERT!)
Setelah menonton Avengers: Age of Ultron kami menentukan adegan apa saja yang menurut kami paling seru.

Komite Kreatif Marvel

Suatu kali saat berbincang dengan majalah Bloomberg Businessweek April tahun lalu, pimpinan Marvel Studios, Kevin Feige membocorkan rahasianya.

Kevin Feige,bos Marvel Studios

Majalah itu mencatat, banyak kesuksesan Marvel berasal dari kontribusi Feige. Dia punya pemahaman khusus tentang penggemar komik, pahlawan super, dan plot. Kunci utamanya adalah semesta Marvel yang ia buat. Semesta itu memungkinkannya membuat begitu banyak film dengan plot dan karakter yang saling terjalin. Crossover dan continuity seperti di komik dipindahkan ke film oleh Feige. (Warner Bros. dengan bendera DC baru memulainya lewat Man of Steel [2013]yang berlanjut ke Batman v Superman: Dawn of Justice.)

Hanya orang yang mencintai komik dan mengerti seluk beluk komik Marvel yang bisa membuat cerita crossover. Makanya, Marvel Studios tak dikelola oleh produser-produser yang hanya haus akan keuntungan, tapi juga mengerti semesta ceritanya. Marvel Studios tak mengundang produser dari luar untuk membuat film mereka. Marvel Studios membentuk komite kreatif yang terdiri atas enam orang yang sangat menguasai komik.

Selain Kevin Feige, anggota komite itu adalah Louis D’Esposito, co-president MarvelStudios, Dan Buckley, Presiden bagian penerbitan Marvel, Joe Quesada, Pimpinan Divisi Kreatif Marvel, dan peulis Brian Michael. Komite ini dipimpin Alan Fine, Presiden Marvel Entertainment.

Komite ini berdebat dan berdiskusi memutuskan apa yang terbaik bagi karakter-karakter Marvel di film.

Mesin Disney Bekerja

Mesin Disney Bekerja

Meski komite ini kerap berdebat, semua sependapat akan satu hal: film Marvel Studios harus memprioritaskan kepuasan para pembaca komiknya. “Anda harus benar-benar memulai dari pembaca setia,” kata Quesada dikutip Bloomberg Businessweek. “Jika pembaca setia sudah tak suka, kami merasa semua juga akan tak suka.”

Satu hal lagi rahasianya, Marvel Studios dimiliki Disney. Sebelum dibeli Disney, kebanyakan film-film Marvel didistribusikan Paramount Pictures. “Parampunt hanya peduli soal biaya distribusi,” kata Robert Iger, CEO Disney.

Luna Maya (foto: Fachrur Rozie)

Disney mengerahkan setiap divisi perusahaan—mulai dari taman hiburan sampai televisi dan produk konsumen—untuk mendukung film-film superhero Marvel. “Sekarang setelah kami mendistribusikan filmnya sendiri, ini bukan lagi soal biaya. Bahkan bukan soal box office. Ini soal memastikan seluruh entitas berhasil, yang pada akhirnya mendongkrak saham Disney.”

Maka dari itu, meski di Avengers: Age of Ultron tak ada pemain film berkebangsaan Indonesia satu orang pun, perwakilan Disney di sini tetap merasa perlu menobatkan Luna Maya menjadi Black Widow versi sini. Dari situ pemberitaan soal Avengers: Age of Ultron ikut terangkat (tanpa mereka perlu membayar iklan di media).*** (Ade)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya