Liputan6.com, Jakarta Saya bersalah telah berprasangka buruk dengan Livi Zheng.
Pertama, saat berkenalan dengannya, mengatur waktu wawancara via chatting di Whatsapp, ia selalu menggunakan bahasa Inggris.
Maka, saya pikir, ia seperti kebanyakan orang Indonesia yang kelamaan tinggal di negeri asing: lupa bahasa kampung halaman.
Advertisement
Saat kami bertemu di kantor redaksi Liputan6.com, Jakarta, belum lama ini, pertanyaan pertama yang saya ajukan adalah, "Should I interview you in English?"
Dia menjawab, "Bahasa Indonesia nggak apa-apa."
Oalah… ternyata saya salah. Livi masih fasih berbahasa Indonesia. Tidak ada aksen sok Inggris dari wanita keturunan Tionghoa kelahiran Malang dua puluh enam tahun lalu ini.
Kedua, dalam hati, saya menaruh rasa skeptis duluan padanya.
Semula saya mengira segala liputan mengenai sosok Livi Zheng di berbagai media terlalu dibesar-besarkan. Begini, media kita kerap kali terlalu heboh bila ada warga Indonesia berkiprah di negeri orang, apalagi Amerika. Kita bahkan punya istilah generik untuk itu:Â go international.
Livi yang menyutradarai film di Hollywood tentu saja langsung dapat sorotan media dalam negeri. Apalagi ia disebut-sebut tak hanya bikin film di Hollywood, tapi filmnya, Brush with Danger, juga dapat nominasi Oscar tahun ini.
Nominasi Oscar? Really?
Pada Livi Zheng saya bertanya langsung apa yang dimaksud dengan "Brush with Danger masuk nominasi Oscar."
Livi sangat bersemangat saat cerita tentang filmnya dan Oscar. Jika larut dalam semangatnya, wartawan yang tak hati-hati mungkin sekali terjerembab bisa salah tulis, dan mengaburkan cerita sebenarnya.
Alkisah, setelah Brush with Danger rilis di bioskop Amerika Serikat medio September tahun lalu, Livi mendapat kiriman e-mail dari penyelenggara Academy Awards atau Oscar. Isinya tentu menggetarkan setiap film maker pemula yang berkiprah di negeri Paman Sam, termasuk Livi: Undangan mengikutsertakan film ke ajang Academy Awards.
Livi semula mengira surat elektronik itu ulah orang iseng. Ia mengabaikannya. Hingga seminggu kemudian, surat dari penyelenggara Oscar datang lagi. Kali ini, ia sedikit percaya. Di surat itu juga dibilang, ia bisa mengirimkan copy skenario untuk disimpan di perpustakaan Oscar.
"Saya tak langsung percaya. Takutnya bohong. Apalagi waktu itu filmnya masih main di bioskop," ia bercerita. Alhasil, ia hantarkan sendiri skenario ke alamat penyelenggara Oscar. "Baru dari situ saya percaya."
Mengecek peraturan Oscar di situsnya, disebutkan film yang tayang di bioskop komersil di wilayah Los Angeles selama tujuh hari berturut-turut berhak ikut serta di ajang Oscar.
Film Brush with Danger memenuhi syarat untuk itu. Hal yang membanggakan, tentu. Namun mengatakan filmnya masuk nominasi Oscar tetaplah keliru. Sebab, saat pengumuman nominasi Academy Awards 2015 masing-masing kategori (film, penyutradaraan, akting dll) Brush with Danger tak disebut.
Namun, bagi saya kemudian, berhasil membuat film di belantara perfilman Hollywood yang penuh persaingan sengit serta mengedarkannya di bioskop komersil adalah prestasi besar yang tak sembarang orang bisa meraihnya.
Apalagi, setelah kami berbincang panjang, saya tahu perjuangan Livi tak mudah. Ia banyak melalui jalan terjal.
Perjuangan Membuat Brush with Danger
Livi Zheng tidak datang dari kalangan sineas yang sebelumnya berkiprah di Tanah Air. Ia tak pernah membuat film pendek apalagi film panjang di Tanah Air dan menang lomba festival film.Â
Ia seperti pendekar yang tiba-tiba turun gunung namun langsung bertarung di rimba persilatan. Tak tanggung-tanggung, jagat kangouw (rimba persilatan) yang dirambahnya langsung Hollywood, ibukota perfilman dunia.
Pertanyaannya, jalan apa yang ditempuh Livi hingga bisa bikin film di Hollywood?
Seperti diceritakannya, ia tak ke Amerika dengan tujuan jadi sineas. Tahun 2007 ia kuliah jurusan ekonomi di University of Washington di Seattle, negara bagian Washington. Saat kuliah itu, hobi Livi pada film tersalurkan.
Sambil tekun kuliah, ia juga mengisi waktu dengan bekerja jadi kru film. "Film apa saja, bahkan film mahasiswa juga saya ikut bantu-bantu," katanya.
Livi lalu kian jatuh cinta pada film. Ia hijrah dari Seattle ke dekat pusat perfilman dunia, Hollywood. Ia mengambil kuliah pasca sarjana jurusan film di University of Southern California.
"Itu universitas yang bagus. George Lucas yang buat Star Wars kuliah di situ, Robert Zemeckis yang bikin Forest Gump dan juga produser A Beautiful Mind (Brian Grazer)."
Berpengalaman bekerja sebagai kru film membuat Livi kenal banyak orang. Salah satunya pria yang kemudian bertindak jadi stunt coordinator. (Di daftar kru Brush with Danger di laman imdb tertera nama David Boushey sebagai stunt coordinator.)
Saat mulai kuliah S2 film itu pula, Livi dan adiknya, Ken Zheng--yang sama-sama mendalami wushu--menulis skenario awal film bergenre laga Brush with Danger. Pada stunt coordinator-nya ini, Livi menceritakan perihal skenario film laga yang tengah ditulisnya. "Dia tertarik, lalu aku ketemu dengan eksekutif produser," ceritanya lagi.
Si eksekutif produser ini ternyata klop dengan Livi dan film yang sedang digagas. "Dia suka culture Asia dan juga sudah belajar kung fu selama 20 tahun," bilangnya. (Di daftar kru Brush with Danger tertera nama Zane Thomas sebagai eksekutif produser.)
Dua orang ini, si stunt coordinator dan eksekutif produser yang jadi pendukung utama Livi mewujudkan mimpinya. Dari mereka berdua ia mendapat investor untuk mendanai filmnya.
Dapat investor dan punya dua orang berpengalaman di Hollywood membantunya tak membuat Livi mulus mewujudkan filmnya. "Yang paling susah itu mencari kru," ujarnya saat ditanya kesulitan terbesar bikin film di Hollywood.
Ia bercerita, di Hollywood berlaku pameo "You’re only as good as your last film." Maksudnya, kru film di Hollywood dinilai dari film paling akhir mereka kerjakan. Jika film terakhir mereka kualitasnya buruk, sang pekerja film itu dapat reputasi buruk pula.
Masalahnya, Livi tak punya reputasi secuil pun di Hollywood. Ini film pertamanya. "Mereka sangat pemilih, mendapat kepercayaan mereka itu susah banget," bilangnya.
Untuk membuktikan kesungguhannya anak kedua dari 3 bersaudara itu dan sang adik membongkar pasang skenario. "Skenarionya aku revisi sampai lebih dari 30 kali. Aku rombak cerita, rombak karakter, tambah karakter," ujarnya. "Seperti setengah menulis ulang."
Namun, jerih payahnya terbayar. Pekerja film di Hollywood mulai menaruh rasa percaya padanya. Kru filmnya pun terkumpul. Brush with Danger siap diwujudkan.
Totalnya, Livi mengomandoi kru dan para aktor berjumlah 200 orang lebih. Sebuah pencapaian tersendiri bagi sutradara pemula yang tak pernah bikin film panjang di Hollywood—bahkan juga di negeri asalnya, Indonesia yang mungkin tak semua kru dan aktornya tahu di mana negeri itu berada.
Syuting Brush with Danger berlangsung di Seattle dan Los Angeles. Filmnya menceritakan dua bersaudara kakak-beradik asal Asia, Alice Qiang (Livi) dan Ken Qiang (adiknya, Ken Zheng) seorang pelukis dan petarung yang menjadi imigran gelap di AS.
Keduanya menumpang kapal kargo yang merapat di Seattle. Saat terlunta-lunta di jalanan, keduanya terpaksa menjadi pelukis jalanan dan juga mempertontonkan jurus-jurus silat.
Justus Sullivan, seorang pemilik galeri seni, melihat bakat seni Alice dan menampung keduanya. Namun Sullivan memiliki agenda terselubung, dengan memaksa Alice untuk memalsukan sebuah lukisan klasik karya Van Gogh.
Saat film selesai syuting, ada prestasi lain yang ditorehkan Livi. Filmnya dapat distributor komersil, AMC.
"AMC juga memiliki jaringan bioskop yang besar. Jadi, film saya bukan termasuk film independen, tapi komersil," ungkapnya.
Advertisement
Menggaet Bintang Candyman dan The Nanny
Tayang di bioskop komersil pada pertengahan September tahun lalu di kota-kota besar di AS dari Los Angeles di ujung barat hingga New York di ujung timur, Brush with Danger kemudian mendapat ulasan media-media besar di sana.
Koran terhormat macam Los Angeles Times dan New York Times memuat ulasan filmnya. Hanya saja ulasan koran-koran tersebut kurang menyenangkan.
New York Times mempersoalkan Livi yang tak spesifik menyebut asal negara kakak-beradik yang jadi tokoh utama filmnya. Selain itu, dialognya juga dianggap tak original. Sedang Los Angeles Times sedikit berbaik hati dengan mengatakan, "Meskipun konsepnya tak asli, film yang tampak penuh semangat ini… tak terlihat seperti pemalsuan murahan."
Saya kembali bertanya, bagaimana Livi menanggapi ulasan yang pedas macam dari New York Times begitu?
Dara kelahiran Malang 3 April 1989 ini mengaku baik-baik saja. Ia justru bangga filmnya diulas New York Times.
"Dapat ulasan baik atau buruk itu hal biasa. Kalau nggak diulas pedas, berarti filmnya nggak ada yang nonton," bilangnya. "Kalau ada ulasan yang (sifatnya) membangun saya ambil, tapi kalau nggak ya sudah."
Brush with Danger kini sudah mulai diedarkan di luar Amerika. Kepada eksekutif produsernya, Livi minta hak mengedarkan film debut penyutradaraan yang sekaligus ia bintangi itu di Indonesia.
Maka, saat berkesempatan mengunjungi tanah kelahirannya Agustus ini, ia mengupayakan agar filmnya bisa edar di bioskop sini. Dan ia memberi kabar, akhir tahun Brush with Danger bakal menyapa penonton sini.
Di lain pihak, ia sendiri baru saja menyelesaikan film kedua. Kali ini, katanya, ia tak lagi kesulitan mencari kru. Bahkan ia pun dapat bintang Hollywood yang cukup tenar ikutan main.
Lewat laptopnya ia memerlihatkan wajah seseorang yang familiar bagi penonton sini: Tony Todd si Candyman dari film horor tahun 1990-an. Nama lain, Madeline Zima yang waktu kecil jadi anak yang diasuh Fran Drescher di serial komedi The Nanny. Film tersebut—yang belum diberi judul resmi—bakal edar di bioskop Amerika tahun depan.
Terakhir, ada satu hal lain yang menarik hati saya pada Livi Zheng. Ibarat pendekar, ia sudah meneguhkan diri jalan pedang yang ia akan tempuh.
Ketika ditanya, apa ia tak tertarik membuat film untuk dilombakan di festival film, wanita yang mengaku tak pandai berdandan ini bilang dengan tegas, "Film-film yang saya buat film komersil, bukan untuk festival."
Dengan keteguhan hati seperti itu, jalan Livi Zheng di Hollywood sangat mungkin bakal cerah.*** (Ade/Put)