Twitter Akan Beritahu Pengguna yang Jadi Korban Propaganda Rusia

Twitter akan memberitahukan para penggunanya yang menjadi korban dari propaganda Rusia selama Pilpres AS 2016.

oleh Andina Librianty diperbarui 19 Jan 2018, 14:00 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2018, 14:00 WIB
CEO Twitter Jack Dorsey
Jack Dorsey, CEO Twitter. Dok: mirror.co.uk

Liputan6.com, Jakarta - Rusia dituding telah mencampuri Pemilihan Presiden (Pilpres) di Amerika Serikat (AS) pada 2016 melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter. Twitter pun berencana memberitahu para penggunanya yang telah menjadi korban dari pesan propaganda tersebut.

Dilansir Reuters, Jumat (19/1/2018), Director of Public Policy Twitter, Carlos Monje, menyampaikan kepada parlemen AS tentang rencana tersebut. Perusahaan akan memberitahu pengguna jika ternyata mereka telah terekspos konten yang dicurigai berasal dari layanan propaganda Rusia. Namun, situs microblogging tersebut belum memberikan pernyataan resmi kepada publik mengenai rencananya itu.

Monje mengatakan, Twitter sedang berusaha mengidentifikasi dan memberitahu pengguna secara individu yang melihat twit propaganda Rusia. Twit tersebut berasal dari akun-akun yang terhubung dengan Internet Research Army dicurigai milik Rusia.

Senator Mark Warner dari Senate Intelligence Committee menyambut baik langkah Twitter tersebut. Warner adalah salah satu yang menginvestigasi campur tangan Rusia dalam Pilpres AS.

"Setelah selama berbulan-bulan mendorong Twitter melakukan hal yang benar, saya senang perusahaan itu akan segera memberitahu pengguna yang melihat konten dari Kremlin," kata Warner melalui akun Twitter miliknya.

Berdasarkan sejumlah laporan dan bukti, badan intelijen AS menyimpulkan Rusia berusaha menginterfensi Pilpres melalui berbagai saluran siber untuk membuat perselisihan politik dan membantu memenangkan Donald Trump. Rusia sendiri telah berulang kali membantah tuduhan tersebut.


Facebook Selidiki Lebih Lanjut Campur Tangan Rusia di Inggris

Mark Zuckerberg
online.wsj.com

Rusia cukup sering dilaporkan mencampuri urusan negara lain. Selain AS, Negeri Beruang Merah tersebut juga diduga mencampuri referendum Inggris terkait keanggotan Uni Eropa pada 2016.

Facebook pada Rabu (17/1/2018), mengatakan akan melakukan penelitian baru yang komprehensif terkait kemungkinan adanya propaganda Rusia yang disebarkan selama referendum tersebut. Langkah ini dilakukan karena penelitian Facebook sebelumnya dinilai masih terbatas.

Sejumlah anggota parlemen Inggris menilai Facebook sebelumnya hanya melakukan penilitian yang terbatas untuk membuktikan manipulasi Rusia pada layanan tersebut dan menginterfensi perdebatan referendum. Rusia sendiri menegaskan tidak mencampuri keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit) atau pun Pemilihan Presiden Amerika (AS) pada 2016.

(Din/Cas)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya