Liputan6.com, Jakarta - Indonesia tengah berusaha bangkit dari duka untuk melawan aksi terorisme. Semenjak pekan lalu, Indonesia dikagetkan dengan aksi nekat teroris di Mako Brimob, kemudian diikuti serangkaian aksi pengeboman di gereja Surabaya dan rusunawa Sidoarjo pada Minggu (13/5/2018).
Pemerintah dan aparat pun saling bahu-membahu menenangkan rakyat sembari menyusun strategi untuk menghentikan serangan terorisme.
Advertisement
Baca Juga
Di tengah-tengah perjuangan rakyat Indonesia, ternyata ada oknum tidak bertanggung jawab yang menyebut serangkaian aksi tersebut hanya rekayasa bernuansa politis semata.
Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), mengecam aksi orang-orang yang menuduh aksi terorisme sebagai rekayasa.
Melalui akun Twitter resminya, Mahfud angkat suara mengenai tuduhan itu. Bahkan, ia menyebut orang-orang yang bersikap demikian sama biadabnya dengan teroris.
Sama biadabnya dgn teroris mereka yg mengatakan teror2 yg terjadi di Depok, Surabaya, dan Sidoarjo merupakan rekayasa aparat. Mereka tak berempati sama sekali, berhati srigala.
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) May 13, 2018
Masih lewat akun Twitter-nya, Mahfud turut mengkritik pihak-pihak yang menyebut UU Antiterorisme bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM).
Politisi tak blh menghalang-halangi pengesahan UU Antiterorisme dgn “se-akan2” membela hak asasi manusia. RUU itu sdh setahun lbh dibahas, mestinya semuanya sdh dibicarakan scr komprehensif. Mengesahkan UU Anti Terorisme berarti melindungi hak asasi rakyat dan keselamatan negara,
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) May 13, 2018
Pria yang pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) di era Presiden Gus Dur itu, juga menambahkan para teroris yang melanggar hak orang lain untuk bisa hidup dalam kedamaian.
Menghalangi pengesahan UU Anti Terorisme dgn alasan utk melindungi hak asasi manusia orang yg menjadi teroris sebenarnya sama dgn membiarkan hak asasi manusia yg lebih besar (rakyat) utk dilanggar oleh teroris-teroris biadab.
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) May 13, 2018
Tak lupa, ia menyebut Presiden Joko Widodo bisa mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu) sebagai salah satu solusi atas kondisi ini.
Bisa. https://t.co/zuuD4zE3Ha
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) May 13, 2018
Cegah Terorisme, Hindari Fanatisme Berlebihan
Terkait dengan peristiwa-peristiwa teror yang sedang mencuat di Indonesia, penting bagi orangtua dan masyarakat untuk melindungi anak sedari dini dari paham-paham yang bersifat fanatisme dan ekstrem.
"Pencegahan yang dapat orangtua lakukan adalah dengan memberikan sudut pandang lain terhadap suatu hal," kata psikolog klinis, Ayu Pradani Sugiyanto Putri, M Psi ketika dihubungi Health Liputan6.com beberapa waktu yang lalu.
"Orangtua juga dapat memberikan pandangan mengenai dampak yang akan terjadi ketika seseorang memiliki fanatisme terhadap suatu hal," kata Ayu.
Namun, hal ini akan sulit apabila dalam lingkungan keluarga juga memiliki paham yang dianggap fanatik.
"Orangtua yang fanatik tentu berpengaruh pada anak, karena orangtua merupakan orang yang menerapkan nilai-nilai pada anak," ujar Ayu.
Jika menghadapi kondisi tersebut, masyarakat juga harus bisa berperan untuk mencegah paham-paham fanatik yang bisa berbahaya bagi orang lain. Hal itu apabila memang ada rumah tangga yang dianggap meresahkan.
Masyarakat atau tetangga yang dekat dengan rumah tangga tersebut, bisa mengungkapkan keresahannya terhadap fanatisme yang dilakukan oleh orang tersebut.
"Agar mereka menyadari bahwa perilakunya sudah berdampak pada orang lain," tambah Ayu.
Advertisement
Jangan Sebar Konten Terorisme
Satu hal yang tidak boleh dilupakan ketika terjadinya aksi kekerasan adalah agar tidak menyebarluaskan foto atau video korban ke media sosial. Apalagi banyak anak di bawah umur yang bisa melihatnya.
Menyusul terjadinya sejumlah bom yang meledak di Surabaya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengimbau masyarakat tidak menyebarluaskan konten negatif yang berkaitan dengan aksi terorisme.
Ada dua poin yang menjadi perhatian Rudiantara. Pertama, ia mengimbau masyarakat tidak menyebarluaskan atau memviralkan konten, baik dalam bentuk foto, gambar, atau video korban aksi terorisme di media apa pun.
"Kedua, memperhatikan dampak penyebaran konten berupa foto, gambar, atau video yang dapat memberi oksigen bagi tujuan akses terorisme, yaitu membuat ketakutan di masyarakat," ujarnya menjelaskan.
Rudiantara juga menegaskan pihaknya terus bekerja sama dan mendukung kepolisian dalam penanganan aksi terorisme. "Kementerian Kominfo bekerja sama dan mendukung Polri. Berikan ruang Polri karena kami yakin akan kemampuan Polri," tutur Rudiantara.
Ia juga meminta agar setiap orang tak menyebarluaskan gambar atau foto yang tak layak buat anak-anak. "Terorisme, jangan takut. Jangan buat anak-anak kita takut nantinya, karena itu yang diinginkan oleh yang membuat teror. Bangsa kita bukan bangsa penakut," ujarnya.
Selain itu, apabila ada konten yang tak layak, Rudiantara juga mengajak masyarakat untuk melakukan komplain ke penyedia platform. Dengan demikian, konten tak layak tersebut dapat langsung diturunkan.
"Kalau perlu kita sama-sama komplain ke penyelenggaranya. Kita file complaint pada platform, baik Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dan sebagainya. Kita minta kontennya turun, untuk Indonesia yang lebih baik. Itulah kebangkitan bangsa Indonesia,” ujarnya.
(Tom/Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: