Liputan6.com, Jakarta - Jelang Pemilihan Umum, berita yang terverifikasi sebagai hoaks ternyata meningkat tajam. Hal ini dapat diilihat dari jumlah hoaks yang pada Agustus 2018 hanya 25, ternyata naik tujuh kali lipat di bulan Januari 2019.
Jumlah itu ternyata terus naik bahkan naik dua kali lipat pada Februari tahun ini. Total hoaks yang diketahui pada bulan lalu mencapai 353. Data ini berasal dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo).
“Ada upaya-upaya delegitimasi dan membangun distrust kepada pemerintah melalui hoaks,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara. Penyebaran hoaks sendiri merugikan kehidupan berbangsa sekaligus memicu perpecahan.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Rudiantara, masyarakat perlu membiasakan diri memverifikasi informasi. Pernyataan tersebut disampaikan Rudiantara saat Seminar Nasional bertema “Hoaks dan Implikasinya Terhadap Demokrasi dan Pembangunan Berkeadilan”
Acara ini digagas oleh Kantor Staf Presiden (KSP) dan diadakan di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Dalam keterangan resmi yang diterima Tekno Liputan6.com, Selasa (2/4/2019), Rudiantara menuturkan sekitar 30 persen kabar bohong itu bertema dan bermuatan politik.
Dalam sambutannya, Deputi V KSP, Jaleswari Pramodhawardani menuturkan hoaks telah menghambat upaya pemerintah membangun dan menyejahterakan masyarakat. Karenanya, hoaks bukan sekadar kabar bohong dan fitnah.
Penyebar hoaks biasanya membuat bingung masyarakat sehingga mengancam demokrasi di Indonesia. Padahal, pemerintah memiliki banyak program untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Beberapa program yang sedang digalakkan pemerintah adalah PKH, BPJS, kredit mekar, dan lainnya. Namun, tidak jarang program itu terhambat realisasinya sebab masyarakat mendapat berita bohong agar tidak percaya pemerintah.
“Ini sangat merugikan masyarakat luas,” kata Jaleswari.
Seminar Nasional Tentang Hoaks
Seminar Nasional yang dihadiri sekitar 1.000 mahasiswa Unsyiah itu menghadirkan beberapa narasumber terkemuka, seperti guru besar ilmu politik LIPI, Prof. Syamsuddin Haris dan anggota dewan pers, Yosep Adi Prasetyo.
Turut hadir pula Wakil Direktur Cybercrime Mabes Polri Kombes Polisi Asep Syafrudin dan akademisi Unsyiah
Aceh Nur Anisa. M.Si. Aceh dipilih karena survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Januari lalu, menyebut daerah ini memiliki tingkat penyebaran hoaks terparah.
Selain Aceh, provinsi lain yang memiliki tingkt penyebaran informasi palsu terparah adalah Jawa Barat dan Banten. Oleh sebab itu, seminar ini memberikan wake up call untuk para pemangku kepentingan, akademisi, dan masyarakat Aceh memerangi hoaks.
Kombes Polisi, Asep mengingatkan masyarakat agar tidak bermain-main dengan hoaks dan fitnah di media sosial. Dia menuturkan, bareskrim Polri saat ini sudah memiliki alat canggih untuk mendeteksi penyebar fitnah.
Jajaran kepolisian bisa dan sudah menangkap penyebar kabar bohong dalam waktu singkat. “Polri sangat serius memerangi hoaks,” tutur Asep.
Keprihatinan atas maraknya kabar bohong juga disampaikan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo.
“hoaks menenggelamkan fakta,” tuturnya. Yosep mengatakan masyarakat harus bisa membedakan berita dan informasi.
Informasi di media sosial belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, sehingga masyarakat jangan asal ikutan membagi informasi yang seringkali palsu. “Sekali lagi, masyarakat harus saring sebelum sharing,” ucap Yosep.
(Dam/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement