Metaverse dan Dunia Virtual Tak Luput dari Kasus Pelecehan Seksual

Seorang wanita mengaku menjadi korban pelecehan seksual di dunia virtual Metaverse milik Horizon Worlds.

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 20 Des 2021, 13:30 WIB
Diterbitkan 20 Des 2021, 13:30 WIB
Alasan Mengapa ‘Speak Up’ Tak Mudah untuk Korban Pelecehan Seksual
Dukungan pada korban pelecehan seksual diperlukan karena ‘speak up’ tak mudah bagi korban. (Foto: Unsplash.com/m t Elgassier).

Liputan6.com, Jakarta - Seorang wanita yang bergabung sebagai beta tester di platform Virtual Reality (VR) Horizon Worlds milik Meta, mengaku menjadi korban pelecehan seksual di metaverse.

Wanita tersebut mengatakan, pelecehan seksual itu terjadi di grup Facebook beta testing Horizon Worlds. Meta juga pada 1 Desember lalu, mengungkapkan kejadian ini terjadi pada 26 November.

Kepada The Verge, seperti dilansir New York Post, wanita ini mengatakan bahwa pelecehan seksual di VR membuat kejadian tersebut lebih intens.

"Pelecehan seksual bukanlah lelucon biasa di internet, tetapi berada di VR menambah lapisan lain yang membuatnya lebih intens," kata wanita tersebut, dikutip Senin (20/12/2021).

"Bukan hanya saya yang diraba-raba tadi malam, tapi ada orang lain di sana yang mendukung perilaku ini, yang membuat saya merasa terisolasi di Plaza," kata wanita itu merujuk pada ruang berkumpul di dunia virtual.

Dalam tanggapannya terkait kejadian ini, Meta mengatakan bahwa fitur "Safe Zone" memungkinkan pengguna untuk memblokir interaksi dengan pengguna lainnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tanggapan Meta

Niantic
Niantic ingin wujudkan metaverse di dunia nyata dengan Lightship. (Doc: Niantic)

Vivek Sharma, Vice President Horizon, juga mengaku mereka perlu bekerja untuk membuat fitur tersebut agar "sangat mudah dan dapat ditemukan."

Juru bicara Meta, Kristina Milian, juga mengatakan kepada MIT Technology Review bahwa pengguna harus menyelesaikan pelatihan yang mencakup alat perlindungan, sebelum bergabung dengan Horizon Worlds.

Kejadian pelecehan seksual di dunia virtual ini sendiri bukan yang pertama kalinya.

Aaron Stanton, Co-Developer game VR Quivr, mengatakan sebuah kejadian serupa pernah terjadi pada 2016, ketika seorang gamer bernama Jordan Belamire, melaporkan "diraba-raba dalam realitas virtual."

Saat itu, Belamire sedang berburu zombie dan iblis di dalam game. Tiba-tiba pengguna bernama BigBro442, dengan avatar satu kepala tanpa tubuh dan dua tangan melayang, mengejarnya dan meraih dada serta selangkangannya.

Bukan Pertama Kalinya

[Fimela] Ilustrasi korban
Ilustrasi korban pelecehan | unsplash.com/@anthonytran

Belamire menolaknya tapi pelaku tidak menyerah. Pihak Quivr segera mengembangkan gerakan untuk memberikan pelindung, di mana pengguna bisa menyilangkan tangan di udara sebagai isyarat meminta bantuan moderator.

Stanton mengatakan dirinya masih dihantui kejadian tersebut dan berharap agar ada lebih banyak perlindungan.

"Kita bisa saja menghindari insiden itu di Meta," katanya.

Menurut Pew Research 2020, pelecehan daring parah termasuk ancaman fisik, penguntitan, dan pelecehan berulang.

Data menyebut bahwa semua kejadian itu mengalami peningkatan dengan persentase laporan pengguna melonjak dari 15 persen pada tahun 2014, menjadi 25 persen.

Para ahli pun menegaskan bahwa pelecehan seksual di realitas virtual adalah pelecehan seksual di dalam kehidupan nyata.

(Dio/Isk)

Infografis: Rasa Berkuasa Pendidik Berujung Pelecehan Seksual

Infografis: Rasa Berkuasa Pendidik Berujung Pelecehan Seksual (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis: Rasa Berkuasa Pendidik Berujung Pelecehan Seksual (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya