Open access Disebut Akan Mendongkrak Harga Gas

Open access dan unbundling pada pipa gas dikatakan justru akan mendongkrak harga jual gas ke konsumen.

oleh Nurmayanti diperbarui 27 Feb 2014, 16:47 WIB
Diterbitkan 27 Feb 2014, 16:47 WIB
111026bpipa-gas.jpg

Liputan6.com, Jakarta Analisis 40 disertasi doktoral yang di diterbitkan dalam jurnal internasional menyimpulkan open access atau pemakaian pipa bersama dan unbundling pada pipa gas justru akan mendongkrak harga jual gas ke konsumen.

"Berdasarkan hasil analisis historis di negara-negara Eropa, ternyata terdapat korelasi positif antara penerapan open access dan unbundling pada kenaikan harga gas” kata Ketua Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Deendarlianto, Kamis (27/2/2014).
 
Open access dan unbundling juga dinilai memicu fluktuasi dan ketidakstabilan harga jual gas. Sebab pada negara yang menerapkan open access dan unbundling, kenaikan harga jual gas ditentukan oleh mekanisme pasar, sehingga menyebabkan fluktuasi yang memicu ketidakstabilan harga.
 
Kondisi fluktuasi ini semakin parah manakala dipicu kondisi abnormal seperti musim dingin yang ekstrem, serangan teroris dan lainnya.

“Fakta yang ditemukan, pada tanggal 1 Januari 2014, Amerika Serikat mengalami musim dingin yang ekstrem dan membuat harga gas melonjak drastis,” tambah dia.
 
Berkebalikan dengan kondisi tersebut, hasil analisis ilmiah pada negara–negara yang tidak menerapkan open access dan unbundling, misalkan Rusia dan Thailand, ternyata harga gas justru jauh lebih murah dibandingkan negara yang menerapkan open access dan unbundling.
 
Untuk kasus Rusia, selaku negara pemilik cadangan minyak dan gas bumi lima terbesar dunia, menunjukan negara ini mampu mengekspor gas ke Eropa dengan harga yang tinggi, karena terpicu harga minyak. Kemudian keuntungan ekspor ini menyubsidi harga gas domestik sehingga menjadi lebih murah.

Harga gas di Rusia tidak ditentukan mekanisme pasar tapi ditentukan pemerintah. Fluktuasi harga pun tidak terjadi pada negara yang tidak menerapkan open access.
 
Deendarlianto menambahkan, Indonesia masih miskin infrastruktur gas, terbukti dari hasil pengukuran indeks infrastruktur gas Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Studi Energi UGM. Indeks panjang jaringan gas bumi di Indonesia hanya sebesar 6,4 km/m2. Indeks infrastruktur ini merupakan perbandingan antara panjang pipa dengan luas area.
 
“Dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia masih tertinggal jauh. Kita hanya memiliki sekitar 6,4 km/m2 pipa gas, sedangkan Thailand indeks infrastrukturnya mencapai 11 km/m2 dan Malaysia sebesar 19 km/m2,” katanya.
 
Indonesia, kata Deen, masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur gas bumi dalam rangka memperluas dan meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik.
 
“Saat ini Indonesia hanya memiliki sekitar 12 ribu km pipa gas atau baru 20% dari seluruh panjang pipa yang direncanakan dalam Rencana Induk”, kata Jobi Triananda, Direktur Pengusahaan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.
 
Jobi menyampaikan penyebab terhentinya pengembangan infrastruktur gas adalah aturan tata kelola gas bumi yang menimbulkan pasokan yang tidak sinkron, infrastruktur dan pasar.
 
“Pasokan Gas Bumi dialokasikan kepada pihak yang tidak memiliki infrastruktur, sehingga pengembangan ke area baru menjadi terhambat” kata Jobi. Lambatnya pengembangan infrastruktur gas inilah yang kemudian memicu ekspor gas karena produksi gas bumi tidak dapat menunggu, harus dialirkan segera setelah proses produksi berjalan. (Nrm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya