Menperin Kukuh Jalankan Road Map Industri Tembakau hingga 2025

Kemenperin memastikan akan tetap menjalankan road map sektor industri tembakau nasional hingga 2025.

oleh Septian Deny diperbarui 07 Apr 2014, 16:55 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2014, 16:55 WIB
Pekerja menyortir daun tembakau cerutu di koperasi Gudang Tarutama Nusantara (TTN), Desa Pancakarya, Jember, Jatim. Koperasi ini masih mempertahankan ribuan buruh untuk proses penyortiran.(Antara)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memastikan akan tetap menjalankan road map sektor industri tembakau nasional hingga 2025.

Sementara masalah tentang ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sepenuhnya diserahkan kepada Presiden.

“Kami hanya memberikan laporan dan catatan mengenai industri rokok dan komunitas tembakau di Indonesia pada Menteri Kesehatan. Dalam road map industri tembakau nasional, sudah menggambarkan peta jalan dan volume produksi rokok nasional,” kata Menteri Perindustrian, MS Hidayat di Jakarta, Senin (7/4/2014).

Road map sektor industri, menurut Hidayat, harus dijalankan sebagai upaya melindungi sektor industri nasional.

Itu karena industri nasional khususnya sektor tembakau harus tetap tumbuh mengingat 6 juta lebih tenaga kerja harus dipikirkan ketika ratifikasi FCTC  berjalan dan pemerintah konsen masalah kesehatan.

"Masalah ratifikasi FCTC sepenuhnya di serahkan kepada kepala negara karena itu hak prerogatifnya,” jelas Menperin.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Hasan Aoni Aziz mengatakan, peraturan FCTC pada pasal 6 mengatur pengenaan cukai dan pajak tembakau serta rokok setinggi mungkin supaya bisa mengurangi konsumsi rokok.

“Dengan harga cukai dan pajak yang tinggi, akan mengakibatkan daya beli masyarakat terhadap rokok menurun. Hal ini membuat jutaan masyarakat akan kehilangan mata pencaharian dari industri hasil tembakau (IHT),” ujarnya.

Hasan menambahkan, berdasarkan data-data pasar rokok gelap di dunia setelah kebijakan FCTC diterapkan, harga rokok yang tinggi terlah memicu perdagangan rokok gelap di berbagai negara karena melampaui angka psikologis kemampuan daya beli masyarakat.

“Data - data World Health Organization (WHO), setelah penerapan FCTC di beberapa negara, perdaran rokok ilegal mencapai 10% atau sebesar Rp300 triliun. Untuk Indonesia, ratifikasi FCTC sangat berbahaya dan rokok kretek merupakan martabat bangsa, kami menolak ratifikasi FCTC,” tandas dia.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya