Produsen Rokok Tolak Keras Pemberlakuan PP Anti Tembakau

Penerapan PP 109 ini membuat pabrikan rokok meradang. Pengusaha dan petani menentang keras aturan tersebut.

oleh Nurmayanti diperbarui 13 Jun 2014, 09:24 WIB
Diterbitkan 13 Jun 2014, 09:24 WIB
Pabrik (Ilustrasi)
Sejumlah pekerja menyelesaikan proses pelintingan rokok di pabrik rokok PT. Djarum, Kudus, Jateng, Selasa (8/4). (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Liputan6.com, Jakarta - Industri rokok nasional akan kembali mendapatkan tekanan. Kali ini, industri rokok mendapatkan tekanan dari dalam negeri seiring pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan terhitung 24 Juni nanti.

Di luar negeri, industri rokok dibayangi beleid internasional antiproduk berbahan tembakau yang disebut Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Penerapan PP 109 ini membuat pabrikan rokok meradang. Pengusaha dan petani menentang keras aturan tersebut.

“Aturan itu bukan lagi memberatkan, tapi mematikan kami,” tegas Rusdi Rahman, Ketua Komunitas Perusahaan Rokok Kudus (Koperku) di Jakarta, Jumat (13/6/2014).

Sebagai bukti protes, kemarin sedikitnya 31 pemilik pabrik rokok kecil dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur menggelar aksi di depan Kementerian Kesehatan untuk menentang penerapan PP tersebut.

Para pemilik pabrik dikatakan mengaku tak peduli meski mereka terancam hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta jika tak mematuhi aturan tersebut.

Dalam PP 109 dan produk hukum turunannya yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau mengharuskan setiap kemasan rokok memasang gambar bahaya merokok sebesar 40% dari keseluruhan kemasan.

Dengan aturan itu, kata Rusdi, pemerintah telah menggali kuburan bagi ratusan pabrik rokok kecil yang tersebar di berbagai daerah.

Dengan mengubah kemasan, biaya produksi bisa bertambah 15%. Belum lagi, aturan-aturan lain, mulai soal besaran cukai hingga cap bahwa rokok sebagai pembunuh. “Masalah psikologis itu yang paling berat. Kenapa kami dijustifikasi sebagai pembunuh?” ujar Rusdi.

Rusdi, yang juga Direktur Utama Pabrik Rokok Paku Bumi asal Kudus, Jawa Tengah, meminta Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi membuat iklan larangan merokok sendiri bukan dibebankan kepada industri.

“Kalau itu kepentingan Menteri Kesehatan ya harusnya Menteri Kesehatan membuat iklan sendiri, bukan dibebankan pada kami,” katanya.

Sikap senada disampaikan Indra G Windiaz, Koordinator Komunitas Kretek wilayah Jakarta, yang menyayangkan sikap Kemenkes yang dinilai diskriminatif terhadap produk lokal.

Menurut Windiaz, merokok bukanlah sesuatu yang bersifat adiksi atau membuat orang kecanduan. “Ini cuma soal kebiasaan,” ujarnya.

Pemerintah menurut Windiaz seharusnya memberi perlindungan masyarakat dari bahaya asap rokok dengan melindungi juga perokok.

“Harus ada himbauan bagi kontraktor untuk membangun tempat khusus perokok yang layak di gedung-gedung dan fasilitas umum sebagai bentuk perlindungan bagi perokok dan bukan perokok, bukan peraturan yang menguntungkan pihak asing,” pungkas Windiaz. (Nrm)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya