Liputan6.com, Jakarta - Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat mengingatkan perlunya pengembangan industri padat karya di dalam negeri yang bisa menciptakan lapangan kerja seluas-seluasnya bagi masyarakat.
Namun sayangnya selama ini pemerintah dinilai masih belum memberikan dukungan penuh kepada industri padat karya, sehingga industri tersebut belum mampu berkontribusi maksimal bagi penyerapan tenaga kerja di dalam negeri.
"Dalam industri padat karya ini, kita memang agak tertinggal dari negara-negara pesaing. Tapi masih ada kesempatan kita untuk mengejarnya selama semua elemen bangsa, seperti pemerintah, DPR, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pengusaha, kembali melihat kepentingan nasional," ujarnya di Jakarta, Kamis (30/4/2015).
Dia menjelaskan, salah satu penyebab tidak berkembangnya industri padat karya di dalam negeri karena soal perizinan.
Izin HO (gangguan) misalnya, selama ini seringkali menjadi penghambat ekspor. Pasalnya, pemberian izinnya memakan waktu relatif lama, dari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
"Padahal, izin HO menjadi salah stau syarat untuk mengurus perizinan ekspor. Izin HO ini dikeluarkan oleh pemerintah kota atau kabupaten," kata dia.
Selain soal perizinan, masalah lain yang harus dihadapi yaitu tingginya harga energi yang dibutuhkan industri, seperti listrik. Harga listrik di Indonesia saat ini menjadi yang tertinggi di Asia, yaitu sebesar US$ 11 sen per KwH.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding harga listrik di Vietnam dan Korea Selatan yang masing-masing sebesar US$ 6 sen per KwH.
"Listrik adalah faktor yang sangat menentukan bagi daya saing industri padat karya. Jika harganya mahal, kita sulit bersaing. Kami berharap ini juga menjadi bagian dalam paket kebijakan ekonomi," lanjutnya.
Selain kendala internal, kendala eksternal untuk kegiatan ekspor komoditas Indonesia ke luar negeri juga perlu dicarikan solusinya. Salah satu yaitu soal akses pasar yang masih terbatas.
Dia mengungkapkan, saat ini banyak industri dalam negeri yang memiliki potensi untuk menjangkau pasar ekspor yang lebih luas kesulitan mendapatkan akses pasar internasional.
Advertisement
Hal ini karena Indonesia belum menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah negara di beberapa kawasan yang potensial, seperti Eropa dan Turki.
"Saya yakin, jika perdagangan bebas ini dibuka, kita bisa mendorong ekspor produk kita lebih baik lagi," tandasnya.(Dny/Nrm)