Indonesia Belum Butuh PLTN

Indonesia baru butuh nuklir sebagai pembangkit listrik pada 2100 nanti.

oleh Septian Deny diperbarui 16 Agu 2015, 15:42 WIB
Diterbitkan 16 Agu 2015, 15:42 WIB
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). (Foto: Reuters)
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). (Foto: Reuters)

Liputan6.com, Jakarta - Wacana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) masih terus bergulir. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga telah menyusun rencana proyek PLTN berkapasitas 5.000 megawatt (MW).

Namun, penggunaan tenaga nuklir sebagai sumber energi masih menimbulkan pro dan kontra. Mantan anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim mengatakan bahwa penggunaan nuklir sebagai sumber energi nasional merupakan langkah akhir.

Alasannya, berdasarkan hasil kajiannya terhadap neraca pasokan dan konsumsi, kesimpulan yang didapat adalah Indonesia tidak butuh nuklir sampai 2100 nanti. Hal ini karena Indonesia memiliki sumber energi lain yang dinilai lebih aman.

"Ada batu bara, gas, dan renewable energy. Ini hitungan rasional dan bisa dipertanggungjawabkan," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (16/8/2015).

Menurutnya, kesimpulan tersebut diambilnya dengan mempertimbangkan tiga aspek penting, yakni keamanan (security), ramah lingkungan (enviroment), dan keekonomian (economy).

"Lebih prioritas pemerintah fokus pada pengembangan (riset) energi terbarukan yang ramah lingkungan," kata dia.

Darnel mencontohkan, Jepang ketika terjadi peristiwa di Fukushima. Dari sisi security, Indonesia belum mampu menghadapi tekanan dan dinamika global, misalnya ancaman embargo.

Dari sisi economy, apabila terjadi kecelakaan, dari sisi manajemen risiko akan berpotensi membuat bangkrut suatu negara. "Jepang ketika Fukushima menderita kerugian sekitar Rp 5 ribu triliun," tegasnya.

Berkaca dari hal tersebut, pemerintah harus berpikir secara rasional dan berhati-hati memutuskan suatu kebijakan yang akan berdampak pada keseluruhan rakyat Indonesia.

"Sejak kejadian Fukushima, level kesukaan saya terhadap PLTN menjadi nol. Terus terang saya tidak menolak PLTN, tetapi jujur saya tidak mendukung PLTN jika diterapkan," jelasnya.

Sementara, pakar nuklir eksperimental, Iwan Kurniawan mengkritik keras wacana pembangunan Reaktor Daya Eksperimental (RDE) yang akan dibangun di wilayah Serpong, Tangerang.

Seperti diketahui, persetujuan pembangunan RDE akan dikerjakan oleh kontraktor konsorsium Jerman-Indonesia yang pembiayaannya oleh pemerintah Indonesia sekitar Rp 1,6 triliun.

Argumen Iwan dilandasi fakta bahwa Rusia hanya mempunyai desain RDE yang tidak pernah mereka bangun di negaranya sendiri. "Seakan-akan Indonesia hanya menjadi kelinci percobaan ilmuwan Rusia," kata dia.

Menurutnya, di dunia, hanya China dengan HTR-10 yang terbukti telah membangun. Rusia melalui Rosatomm yang mempunyai saham di Nukem Jerman hanya punya desain dan tidak pernah membangun RDE itu sendiri.

Menurutnya, energi nuklir merupakan fasilitas dengan tingkat keamanan tinggi. Maka akan sangat berbahaya jika Indonesia tidak punya rencana yang jelas dan terukur atas pembangunan dan penggunaan energi nuklir karena dampak negatif yang mungkin ditimbulkan akibat penggunaan nuklir sangat luar biasa.

Selain itu, rencana BATAN ingin membangun PLTN mini di wilayah terpencil dianggapnya irasional. Ketidakjelasan arah ini, katanya, sama saja kita membuat bom atom di beberapa wilayah.

"Kesimpulan saya, RDE itu dirty bomb," terangnya.

Iwan berharap Presiden Jokowi bersedia menjadi pemrakarsa agar semua pihak yang berkepentingan bisa duduk bersama dan terbuka membahas isu PLTN di Indonesia. "Dalam konteks ini, Presiden harusnya menjadi pemrakarsa agar semua pihak bisa duduk bersama membicarakan masalah ini. Buka saja, semua terbuka," tandasnya. (Dny/Gdn)

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya