Ramalan Bank Dunia Pada Ekonomi Asia Timur dan Pasifik

‎Secara keseluruhan, kawasan ini diharapkan tumbuh 6,5 persen pada 2015, turun sedikit dari 6,8 persen tahun lalu.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 05 Okt 2015, 14:47 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2015, 14:47 WIB
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi 2
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

Liputan6.com, Jakarta - Asia Timur tetap merupakan salah satu mesin pertumbuhan utama perekonomian dunia. Hampir dua perlima dari pertumbuhan ekonomi global berasal dari kawasan ini, menurut laporan terbaru Bank Dunia. ‎Secara keseluruhan, kawasan ini diharapkan tumbuh 6,5 persen pada 2015, turun sedikit dari 6,8 persen tahun lalu.

“Pertumbuhan negara-negara berkembang Asia Timur dan Pasifik diperkirakan tetap solid, namun melihat adanya tren pelambatan, maka para pembuat kebijakan diharapkan tetap fokus pada reformasi struktural yang berdasarkan pembangunan yang berkelanjutan, jangka panjang dan inklusif," ‎kata Axel van Trotsenburg, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik dalam keterangannya yang diterima Liputan6.com, Senin (5/10/2015).

Ditegaskan Axel, reformasi yang diperlukan termasuk perbaikan kebijakan pada keuangan, ketenagakerjaan dan pasar produk, seperti halnya perbaikan transparansi dan akuntabilitas.

Diyakini, jika hal itu dilakukan, kebijakan-kebijakan ini akan meyakinkan investor dan pasar, dan membantu mempertahankan pertumbuhan yang dapat mempercepat pengentasan kemiskinan.

Laporan East Asia Pacific Economic Update yang diluncurkan hari ini berfokus pada tantangan situasi global yang dihadapi oleh kawasan. Pemulihan ekonomi negara-negara maju berlangsung bertahap, perdagangan global berkembang namun dengan kecepatan paling rendah sejak 2009, dan tren pelambatan semakin meluas di negara-negara berkembang, khususnya negara produsen komoditas karena harga komoditas yang melemah.

Kinerja ekonomi di seluruh Asia Timur bervariasi. Ekonomi Tiongkok diharapkan tumbuh sekitar 7 persen tahun ini dan perlahan melambat setelahnya, karena perekonomian Tiongkok kini lebih berorientasi pada konsumsi domestik dan sektor jasa, yang menandakan kemungkinan penurunan pertumbuhan secara bertahap.

Negara-negara berkembang lainnya di Asia Timur diperkirakan tumbuh 4,6 persen pada 2015, sama dengan tahun lalu. Produsen komoditas seperti Indonesia, Malaysia dan Mongolia akan mengalami pertumbuhan yang lebih perlahan dan pendapatan negara yang melemah tahun ini, mencerminkan turunnya harga komoditas global. Sedangkan negara-negara importir komoditas akan bertahan stabil – bahkan tumbuh. Vietnam, misalnya, diharapkan tumbuh 6,2 persen pada 2015 dan 6,3 persen pada 2016.

Namun pertumbuhan akan berkurang di negara-negara yang lebih kecil. Di Kamboja, hasil panen pertanian yang lebih rendah berdampak negatif pada ekonomi, meskipun pertumbuhan tetap tinggi di angka 6,9 persen tahun ini. Di Myanmar, musibah banjir yang terjadi pada bulan Juli akan melemahkan pertumbuhan ke angka 6,5 persen, dari 8,5 persen pada 2014. Untuk negara-negara di Kepulauan Pasifik, pertumbuhan tetap stabil.

Sementara itu, ‎Sudhir Shetty, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik mengatakan, pertumbuhan negara-negara berkembang di Asia Timur melemah karena ekonomi Tiongkok berupaya mendapatkan keseimbangan dan kemungkinan normalisasi kebijakan suku bunga Amerika Serikat.

‎“Faktor-faktor ini dapat menimbulkan guncangan finansial dalam jangka pendek, tapi ini adalah penyesuaian yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhan berkelanjutan dalam jangka panjang," terangnya.

Laporan ini juga berasumsi akan terjadi pelambatan secara bertahap terhadap ekonomi Tiongkok pada 2016-2017. Skenario ini karena adanya berbagai kebijakan di Tiongkok yang dinilai bisa mengendalikan dan menangani resiko penurunan ekonomi.

Kebijakan tersebut termasuk tingkat hutang negara yang tidak terlalu tinggi, aturan melarang tabungan di luar sistem perbankan, dan besarnya peran negara dalam sistem keuangan. Jika pertumbuhan Tiongkok semakin melambat, dampaknya dapat dirasakan di seluruh kawasan, terutama di negara-negara yang terhubung dengan Tiongkok melalui perdagangan, investasi dan pariwisata.

Laporan ini juga mengasumsikan adanya kenaikan secara bertahap suku bunga Amerika Serikat dalam beberapa bulan ke depan. Meski kenaikan ini telah diantisipasi, dan diharapkan berlangsung secara teratur, tetap ada resiko pasar dapat bereaksi terhadap pengetatan tersebut, yang dapat menyebabkan depresiasi mata uang, meningkatnya perbedaan imbal hasil surat hutang negara, berkurangnya aliran dana dan pengetatan likuiditas.

Menghadapi kemungkinan tantangan tersebut, laporan ini menekankan kepada dua prioritas di seluruh kawasan: manajemen makroekonomi yang baik demi melindungi kelemahan-kelemahan eksternal dan fiskal; serta reformasi struktural yang lebih mendalam dan berfokus pada upaya menarik investasi swasta. (yas/Zul)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya