Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan-perusahaan asal China mulai gencar menanamkan investasi di Indonesia. Sebut saja produsen otomotif SAIC-GM-Wuling (SGMW) yang membangun pabrik mobil di Bekasi, Jawa Barat, dengan nilai investasi sebesar Rp 9,7 triliun.
Selain itu, tidak lama lagi perusahaan asal Negeri Tirai Bambu, Skyworth, juga akan mengakuisisi pabrik televisi dan mesin cuci milik Toshiba di Indonesia.
Sedangkan hal berbeda justru terjadi pada investasi Jepang. Sejumlah perusahaan elektronik asal Negeri Sakura dikabarkan mulai mengurangi produksinya. Bahkan, ada juga yang menutup sebagian pabriknya di Indonesia.
Baca Juga
Salah satu sebabnya, produk yang dihasilkan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kalah bersaing dengan produk asal China.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Haris Munandar mengatakan, kalahnya produk-produk Jepang dari China saat ini berawal dari budaya manajemen di dalam perusahaan asal Jepang yang dianggap kurang dinamis.
Dia mengungkapkan senioritas di perusahaan-perusahaan Jepang masih cukup tinggi, sehingga segala keputusan yang ada diambil menjadi lambat.
Advertisement
Selain itu, kaum muda di perusahaan-perusahaan Jepang jarang diberikan ruang untuk memunculkan ide-ide kreatifnya untuk perkembangan sebuah produk.
Baca Juga
"Di perusahaan Jepang, manajemennya sangat senioritas. Jadi pengambilan keputusan tidak bisa dari bawah, tidak ada yang model-modelnya Bill Gates. Jadi ide-ide 'gila' sulit untuk muncul di sana. Sebagai contoh produk handphone. Handphone yang diproduksi China sekarang mengikuti perkembangan teknologi, sedangkan handphone Jepang terbilang stagnan," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (6/2/2016).
Selain itu, produk-produk Jepang relatif dibanderol dengan harga yang mahal meski hal tersebut sebanding dengan kualitasnya.
Namun, produk-produk asal China justru sebaliknya. Lantaran kualitasnya tidak sebaik produk Jepang, produsen China berani membanderol dengan harga yang murah. Sedangkan secara umum masyarakat Indonesia lebih mengutamakan harga ketimbang kualitas.
"Jepang memang unggul secara kualitas, tetapi harganya juga tinggi. Sedangkan China dinamis. Dia berani banderol harga murah, tapi dengan kualitas seadanya. Sedangkan sebagian besar orang Indonesia harga jadi pertimbangkan utama," kata dia.
Sementara dari sisi tenaga kerja, upah pekerja Jepang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan China. Haris menjelaskan, lulusan setingkat S1 di Jepang mendapatkan gaji sebesar Rp 22 juta per bulan. Hal seperti ini yang dinilai juga menjadi beban bagi biaya produksi produk-produk Jepang.
"Tenaga kerja Jepang jauh lebih mahal. Di Jepang, orang tamatan first graduate itu gajinya ¥ 300 ribu atau setara Rp 22 juta. Sedangkan gaji pekerja China masih ada yang setara dengan UMP kita," kata dia. (Dny/Nrm)