Liputan6.com, Jakarta - Usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus, merusak harga jual tembakau petani di daerah. Pasalnya, hasil studi yang Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany ini dijadikan dasar oleh tengkulak untuk menakut-nakuti petani tembakau di daerah.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan, para tengkulak tersebut menakuti petani dengan menyatakan hasil tembakaunya tidak akan diserap oleh industri. Hal ini karena harga produk rokok yang naik akan membuat industri menurunkan kapasitas produksinya.
“Para tengkulak sekarang secara eksesif menakut-nakuti petani agar bersedia melepas panen tembakaunya dengan harga rendah. Alasannya, industri hasil tembakau (IHT) tahun ini akan sedikit menyerap tembakau milik petani, karena harga rokok akan dinaikkan menjadi Rp 50 ribu. Kondisi ini sangat meresahkan petani tembakau, khususnya di Jawa Timur,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (22/8/2016).
Advertisement
Ancaman dari para tengkulak ini diterima oleh para petani tembakau di Pamekasan dan Sumenep, Madura. Soeseno mendapat laporan, para tengkulak memanfaatkan isu kenaikan harga rokok Rp 50 ribu ini untuk menekan harga beli tembakau milik petani.
"Di Pamekasan harga tembakau ditawar tengkulak Rp 18 ribu per kilogram, sementara di Sumenep ditawar Rp 19.500 per kilogram. Padahal rata-rata harga tembakau Perancak 95 mencapai Rp 40 ribu per kilogram. Pernah juga di 2010 harga tembakau jenis ini mencapai Rp 60 ribu per kilogram," kata dia.
Baca Juga
Soeseno juga mengatakan, selama ini petani selalu menerima informasi seputar tembakau secara asimetris. Sehingga kerap dimanfaatkan oleh tengkulak maupun pedagang yang hanya mencari untung.
Oleh sebab itu, dirinya meminta agar pemerintah segera mengambil tindakan tegas kepada pihak-pihak yang menyebarkan wacana ini secara tidak bertanggungjawab. Sebab wacana ini telah menimbulkan dampak langsung pada kelangsungan hidup petani tembakau di daerah.
"Bayangkan saja, mereka bisa rugi jutaan rupiah karena harga jual tembakau rusak gara-gara informasi tidak benar," tandas dia.
Sebelumnya pada 17 Agustus 2016, Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) tengah mengkaji wacana kenaikan harga rokok hingga dua kali lipat atau menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Unit Eselon I ini harus mempertimbangkan dari sisi aspek ekonomi apabila ingin menaikkan tarif cukai rokok sehingga perusahaan terpaksa menjual rokok seharga tersebut.
"Harga rokok jadi Rp 50 ribu per bungkus adalah salah satu referensi yang dikomunikasikan," ujar Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi di Jakarta, Raabu (17/8/2016).
Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan usulan tersebut bukan saja dari sisi kesehatan, tapi juga dari aspek ekonomi, seperti industri, petani dan keberlangsungan penyerapan tenaga kerja.
"Jadi kita harus komunikasikan dengan seluruh stakeholder, baik yang pro kesehatan maupun yang pro industri, petani karena pasti ada tarik ulur di situ. Kalau cuma dengarkan salah satunya, bisa bangkrut itu," jelas Heru.
Kenaikan tarif cukai rokok yang terlalu signifikan akan berdampak negatif bagi industri. Bahkan efek buruk lainnya, sambung dia, marak peredaran atau penyelundupan rokok ilegal.
(Dny/Gdn)