Liputan6.com, Jakarta - Indonesia mesti terus berbenah untuk menghadapi liberasi penerbangan ASEAN atau yang dikenal dengan ASEAN Open Sky. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi pasar negara ASEAN lainnya.
CEO AirAsia untuk Indonesia Dendy Kurniawan menerangkan, dari sisi maskapai mesti ada perbaikan dari sisi struktur biaya (cost structure).
Sayangnya, beban biaya yang diterima maskapai Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara seperti Malaysia dan Singapura terutama karena ditopang oleh tingginya harga bahan bakar (fuel).
Advertisement
"(dibanding Singapura) lumayan bisa 11-12 persen lebih mahal. Sementara bahan bakar itu itu hampir 40 persen cost structure sebuah airlines," kata dia di Da Nang Vietnam seperti ditulis Senin (17/10/2016).
Baca Juga
Dendy mengatakan, jika maskapai nasional ingin kompetitif seharusnya harga bahan bakar di Indonesia sama dengan negara lain.
"Harusnya kita harapkan kita mengisi (bahan bakar) di Singapura, Malaysia mestinya sama. Tapi dengan local regulation terkait dengan tax, kemudian berbagai bea menyebabkan biayanya relatif sedikit lebih mahal," jelas dia.
Bukan hanya dari sisi maskapai, untuk bersaing di ASEAN Open Sky kesiapan dari segi bandara juga harus ditingkatkan. Dendy menerangkan, selama ini jam operasional bandara di Indonesia relatif terbatas. Hal ini berdampak pada jadwal penerbangan (slot) maskapai yang relatif terbatas pula.
"Kalau bicara ASEAN open sky policy bukan hanya bicara tentang airlines tapi juga tentang bandara itu sendiri. Airlines seberapa besar pesawat yang dia tambah mestinya tidak menjadi isu. Tapi isunya apakah tersedia slot di bandara bersangkutan dan slot terkait air traffic management sendiri," jelas dia.
Oleh karenanya, dia berharap jam operasional tersebut terus ditambah atau bahkan dibuka 24 jam. "Ini kita harapkan bandara di Indonesia, mungkin bertahap tidak langsung 24 jam, tapi tambah operasinya," tandas dia. (Amd/Gdn)