Liputan6.com, Jakarta Harga minyak dunia terus merangkak naik dan saat ini berada di kisaran US$ 54 per barel. Kenaikan harga komoditas strategis ini akan memberikan dampak positif dan negatif bagi Indonesia, termasuk pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati memperkirakan harga minyak dunia cenderung akan terus naik mengingat terjadi kesepakatan negara-negara OPEC dan non OPEC untuk memangkas produksi minyak dunia.
Baca Juga
"Tidak ada satu negara mau mati bersama, jadi harga minyak dunia pasti mau rebound. Karena akibat anjloknya harga minyak, fiskal negara anggota OPEC ‎kedodoran. Jadi kemungkinan harga minyak naik," ujar Enny saat Diskusi Akhir Tahun di kantornya, Jakarta, Kamis (29/12/2016).
Advertisement
Menurutnya, kenaikan harga minyak dunia menjadi masalah bagi Indonesia. Di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, pemerintah sudah mematok harga minyak mentah Indonesia sebesar US$ 45 per barel.
"Kita kan nett importir bahan bakar minyak (BBM). Kalau kita membeli minyak mentah atau BBM dengan harga jauh lebih tinggi, maka kita membayarnya lebih besar. Ini risikonya lebih berat ketimbang penurunan harga minyak dunia," terang Enny.
Lanjut Enny, Indonesia‎ belum menapaki diversifikasi ke energi baru dan terbarukan sehingga masih mengandalkan BBM sebagai sumber energi meskipun harganya mahal. "Risikonya seluruh masyarakat yang menanggung saat harga BBM atau energi lain lebih mahal. Kalau energi kita mahal, daya saing Indonesia yang sudah turun bisa makin turun gara-gara kenaikan harga minyak," jelasnya.
‎Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari INDEF Imaduddin Abdullah menambahkan, saat harga minyak dunia naik sebetulnya fiskal Indonesia akan tetap aman karena tidak ada lagi beban subsidi BBM yang besar seperti tahun-tahun sebelumnya.
"Dari kenaikan harga minyak, justru meningkatkan penerimaan. Asumsinya harga minyak naik US$ 1 per barel, penerimaan naik Rp 800 miliar, sehingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Migas, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas naik, jadi ada kontribusinya di APBN," dia menerangkan.
Minyak dunia, sambung Imaduddin, merupakan magnet energi dunia yang mampu mempengaruhi harga komoditas lain, seperti harga minyak kelapa sawit mentah (CPO), batubara, karet, dan harga gas.
"Komoditas ini adalah andalan ekspor Indonesia, sehingga kalau harga minyak dunia naik, akan meningkatkan penerimaan pada pos Bea Keluar karena ada peningkatan ekspor. Makanya pemerintah tidak mau memangkas produksi minyak mentah sebanyak 815 ribu barel per hari untuk menjamin penerimaan negara.
Imaduddin memperkirakan harga minyak dunia bakal terkerek naik di level US$‎ 50 sampai US$ 60 per barel per hari. Karena sebelumnya minyak dunia mengalami penurunan harga, sehingga kondisi ini tidak akan berdampak lama mengingat secara permintaan global naik
"Karena sudah ditetapkan target lifting di APBN 2017, mudah-mudahan ada inflow tambahan untuk menutup defisit fiskal atau anggaran. Secara demand naik tapi harga minyak dunia diperkirakan maksimal dikisaran US$ 60 per barel sehingga APBN perlu dirombak karena akan ada perubahan asumsi pemerintah terhadap penerimaan negara," terang dia.