Pemerintah Bakal Ambil Sikap Jika Freeport Sulit Diajak Berunding

Presiden Jokowi menuturkan, pemerintah Indonesia juga ingin solusi sama-sama menang dengan Freeport Indonesia.

oleh Septian Deny diperbarui 23 Feb 2017, 11:30 WIB
Diterbitkan 23 Feb 2017, 11:30 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, pemerintah Indonesia akan mencari solusi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah PT Freeport Indonesia. Dengan demikin diharapkan ada win-win solution baik bagi pemerintah maupun perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut.

Jokowi mengungkapkan, urusan Freeport diserahkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Hal ini lantaran ‎permasalahan tersebut merupakan urusan bisnis, bukan antar negara.

"Kan sudah disampaikan oleh Menteri. Ya kita ingin ini dicarikan solusi menang-menang. Dicarikan solusi yang win-win. Kita ingin itu. Kan ini urusan bisnis jadi oleh sebab itu saya serahkan kepada Menteri," ujar dia di Cibubur, Jakarta Timur, Kamis (23/2/2017).

Namun jika Freeport ‎tetap tidak mau mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia dan sulit untuk diajak berdiskusi, maka pemerintah akan mengambil sikap yang tegas.

"Tapi kalau memang sulit diajak musyawarah, dan sulit kita ajak berunding ya kita nanti akan bersikap," kata dia.

Sementara terkait dengan perpanjangan kontrak, Jokowi menyatakan hal tersebut masih dibicarakan antara Menteri ESDM dengan Freeport.

"Ya nanti dilihat. Ini kan masih Menteri masih memproses berunding dengan Freeport. Intinya itu aja kalau memang sulit musyawarah dab sulit diajak untuk berunding saya akan bersikap tapi kalau sekarang ini biar menteri dulu," ujar dia.

Sebelumnya Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoRan Richard C. Adkerson mengatakan, saat ini Freeport sedang melakukan negosiasi dengan Pemerintah Indonesia tekait perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan segala hal yang diatur didalamnya.

"Kami tetap ingin bekerjasama dengan pemerintah. Kami juga berkomitmen untuk berunding dengan pemerintah," kata Adkerson.
Ia melanjutkan, pemerintah telah menerbitkan reko‎mendasi izin ekspor konsentrat kepada Freeport Indonesia. Namun perusahaan asal Amerika Serikat (AS) tersebut tidak menerima keputusan tersebut. Alasannya, Freeport masih ini bernegosiasi dalam perubahan status yang dijadikan syarat pemerintah agar Freeport bisa mengekspor konsentrat.

"Posisi kami tidak menerima izin yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan melepas status dari Kontrak Karya," tutur Adkerson.

Freeport telah melayangkan surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Surat tersebut berisi pandangan perusahaan mengenai berstatus KK dengan IUPK. ‎Selain itu, surat tersebut juga berisi tanggapan dari Freeport mengenai keputusan pemerintah memberikan izin ekspor konsentrat.

Menteri ESDM Ignasius Jonan juga pernah mengatakan Freeport Indonesia menolak untuk mengubah perjanjian dari KK menjadi IUPK. Pemerintah memberikan hak yang sama di dalam IUPK dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam 6 bulan sejak IUPK diterbitkan. "Namun PTFI menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut KK tetap berlaku," tuturnya.

Dikatakan Jonan, PTFI telah mengajukan rekomendasi ekspor melalui surat No 571/OPD/II/3017 tanggal 16 Februari 2017 dengan menyertakan pernyataan komitmen membangun smelter. Sesuai IUPK yang telah diterbitkan, Dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor pada 17 Februari 2017. "Menurut informasi yang beredar PTFI juga menolak rekomendasi ekspor tersebut," tuturnya.

"Saya berharap kabar tersebut tidak benar karena Pemerintah mendorong PTFI agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi," lanjut dia.

Jonan juga berharap, PTFI tetap sepakat dengan adanya ketentuan divestasi 51 persen yang tercantum dalamm perjanjian KK yang pertama antara pemerintah dengan PTFI, yang juga tercantum dalam PP No 1/2017.

Meski menurut Jonan ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30 persen karena alasan pertambangan bawah tanah.

"Namun divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Bapak Presiden, agar PTFI dapat bermitra dengan Pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya," tambahnya.

Jonan juga menanggapi rencana PT Freeport Indonesia yang akan membawa persoalan ini ke arbitrase, Jonan menyebut itu adalah hak siapapun, meski pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.

"Namun itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah," tambah Jonan.

 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya