KPPU: Aturan Transportasi Online Hambat Ekonomi Kerakyatan

KPPU meminta pemerintah menghapus kebijakan penetapan batas bawah tarif dan tidak mengatur kuota atau jumlah armada transportasi online.

oleh Achmad Sudarno diperbarui 30 Mar 2017, 13:24 WIB
Diterbitkan 30 Mar 2017, 13:24 WIB
Ilustrasi Foto Taksi Online (iStockphoto) ​
Ilustrasi Foto Taksi Online (iStockphoto) ​

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai revisi Permenhub (Peraturan Menteri Perhubungan) Nomor 32 Tahun 2016 akan menghambat perekonomian rakyat.

Terkait itu, KPPU meminta pemerintah menghapus kebijakan penetapan batas bawah tarif, tidak mengatur kuota atau jumlah armada transportasi online, dan menghapus kebijakan taksi online atas nama badan hukum.

"Kami keberatan ada revisi permenhub, karena akan mematikan angkutan online. Soal ini sebelumnya sudah kami sampaikan ke presiden," kata Komisioner KPPU Nawir Messi di Bogor, seperti dikutip Kamis (30/3/2017).

Hasil analisis KPPU terkait revisi Permenhub No 32 Tahun 2016, KPPU mendukung pemerintah untuk menetapkan pengaturan yang menjamin kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku usaha penyedia jasa angkutan taksi daring (online) maupun taksi konvensional.

"Ada tiga poin terkait revisi permenhub itu untuk tidak diaplikasikan," ujar Nawir.

Pertama, KPPU meminta pemerintah menghapus kebijakan penetapan batas bawah tarif yang selama ini diberlakukan untuk taksi konvensional dan sebagai gantinya pemerintah mengatur penetapan batas atas tarif.

Menurut Nawir, penetapan tarif batas bawah akan berdampak pada inefisiensi di industri jasa angkutan taksi secara keseluruhan dan bermuara pada mahalnya tarif untuk konsumen.

Tarif batas bawah juga menghambat inovasi untuk meningkatkan efisiensi industri jasa transportasi, lebih jauh batas bawah tarif dapat menjadi sumber inflasi.

"Aturan batas atas dapat menjadi pelindung bagi konsumen dari proses eksploitasi pelaku usaha taksi yang strukturnya bersifat oligopoli," terangnya.

Kedua, KPPU menyarankan pemerintah agar tidak mengatur kuota atau jumlah armada transportasi online yang beroperasi di suatu daerah.

Penentuan jumlah armada untuk pelaku usaha angkutan diserahkan kepada mekanisme pasar, sehingga mereka akan menyesuaikan jumlah armada sesuai kebutuhan konsumen.

Akan tetapi, pemerintah selaku regulator harus mengawasi secara ketat pemegang lisensi jasa angkutan. Selain itu, secara tegas memberikan sanksi berupa pencabutan izin operasi untuk menjaga kinerja operator taksi berbasis aplikasi online untuk memenuhi standar pelayanan minimal.

Ketiga, kewajiban taksi online atas nama badan hukum memiliki makna pengalihan kepemilikan dari perseorangan kepada badan korporasi.

"Ini tidak paralel dengan upaya membangkitkan perekonomian rakyat. Seharusnya dari taksi online ini jadi peluang untuk mengembangkan sharing economy, di mana pelaku perseorangan bisa masuk ke dalam industri," terangnya. (Achmad Sudarno)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya