Subsidi Proyek LRT Bisa Turun dari Rp 1 Triliun

LRT ditargetkan bisa mengangkut 116 ribu penumpang

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 31 Jul 2017, 13:20 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2017, 13:20 WIB
Diuji Coba Tahun Depan, Begini Penampakan Jalur LRT Jakarta
Penampakan kontruski pembangunan proyek kereta ringan (Light Rail Transit/LRT) di kawasan Kampung Makassar, Jakarta, Rabu (19/7). Proyek ini ditargetkan rampung pada tahun 2018. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan subsidi untuk proyek light rail transit (LRT) Jabodebek berpotensi turun. Sebelumnya, proyek ini disebut menelan subsidi Rp 1 triliun untuk pengembalian pinjaman ke bank.

Budi Karya mengatakan, turunnya subsidi sejalan dengan prediksi peningkatan jumlah penumpang. Jumlah penumpang LRT diperkirakan rata-rata 5 persen per tahun.

"Hitungannya berupa grafik tadi. Subsidi itu kira-kira Rp 16 triliun dalam 12 tahun. Tapi kelihatannya itu akan turun, karena pertumbuhan itu tarifnya cuma 5 persen. Saya sudah sampaikan, pertumbuhan itu bisa digoyang menjadi 6 persen sampai 7 persen. Begitu pertumbuhan penumpang 7 persen, maka subsidi akan turun," jelas dia usai rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Jakarta, Senin (31/7/2017).

Dia mengatakan, LRT ditargetkan bisa mengangkut 116 ribu penumpang. Dengan pertumbuhan di atas 5 persen maka subsidi dari pemerintah bisa turun.

"Jadi (subsidi) Rp 16 triliun dalam 12 tahun, dengan asumsi mulai dari penumpang 116 ribu, dengan pertumbuhan 5 persen dan tarif Rp 12.000. Jadi kalau seumpama pertumbuhan tidak 5 persen ya subsidinya turun," ungkap dia.

Direktur Utama PT KAI (Persero) Edi Sukmoro mengatakan, pembangunan LRT Jabodebek akan menggunakan pinjaman bank dengan nilai sekitar Rp 18,5 triliun dan tingkat bunga yang diharapkan 7 persen per tahun. Pinjaman tersebut merupakan pengembangan dari penyertaan modal negara (PMN) sekitar Rp 9 triliun.

PMN diberikan kepada PT Adhi Karya Tbk sebesar Rp 1,4 triliun dan PT KAI sebesar Rp 7,6 triliun. Adapun PMN KAI yakni berasal dari realokasi PMN tahun 2015 untuk kereta Trans Sumatera Rp 2 triliun, PMN dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Perubahan (APBNP) 2017 sebesar Rp 2 triliun. Kemudian, KAI berencana mengajukan PMN di 2018 sebesar Rp 3,6 triliun.

"Itu subsidi beda dengan public service obligation (PSO). Subsidi ini membantu pengembalian saat meminjam. Karena angka Rp 18,5 triliun itu kita minjam ke bank," kata dia di Komisi VI DPR seperti ditulis Kamis, 20 Juli 2017.

Besaran subsidi yang dibutuhkan sendiri sebanyak Rp 15 triliun untuk 12 tahun. "Karena memang subsidi untuk bayar utang pembangunan infrastruktur. Kami sekarang itu menerima PSO untuk menjalankan KRL dan kereta Rp 2 triliun. Jadi kalau ini Rp 15 triliun dalam 12 tahun berarti Rp 1 triliun lebih, menerima subsidi untuk dedikasi pengembalian peminjaman Rp 18,5 triliun," jelas dia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, PSO merupakan istilah yang kerap digunakan untuk subsidi dalam APBN. Namun negara tak mungkin menyediakan dana sebesar Rp 18,5 triliun dalam 3 tahun. PMN digunakan untuk memperoleh pinjaman tersebut.

"APBN tidak mungkin sediakan Rp 18,5 triliun dalam 3 tahun. Jadi mereka harus kombinasi injeksi PMN tadi yang Rp 7 triliun, Adhi Karya Rp 1,4 triliun. Dan kemudian mereka melakukan leverage dengan meminjam sehingga mencapai kebutuhan capital expenditure Rp 18,5 triliun," jelas dia.

Kemudian, untuk mengembalikan pinjaman sesuai dengan waktunya tak mungkin dibebankan kepada penumpang seutuhnya. Pertama kali beroperasi, LRT diperkirakan mengangkut 116 ribu penumpang per hari dan mencapai puncaknya dalam 10 tahun yakni 420 ribu penumpang.

"Untuk mengembalikan Rp 18,5 triliun dalam bentuk break even point dalam 15 tahun itu tidak mungkin di-charge pada masyarakat untuk membayar tiket," ujar dia.

Namun, Sri Mulyani yakin subsidi yang dikeluarkan tak mencapai Rp 1 triliun. Lantaran itu belum memasukkan pemanfaatan transit oriented development (TOD).

"Bahwa TOD untuk beberapa penggunaan stasiun properti dan sewanya belum dimasukkan dan kami meminta penerimaan TOD akan digunakan untuk kurangi subsidi atau PSO. Apapun diperhitungkan dalam 15 tahun harusnya cost capital lunas jadi break even point," tandas dia.

Tonton video menarik berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya