Pengamat: PLN Perlu Putuskan Rasionalisasi Proyek 35 Ribu MW

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai, kekhawatiran Menkeu Sri Mulyani soal utang PLN wajar mengingat pendapatan tak naik signifikan.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 27 Sep 2017, 15:33 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2017, 15:33 WIB
20160316-PLN-Listrik-HA
Petugas PLN memperbaiki jaringan listrik di kawasan Pondok Ranji, Tangerang Selatan. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani telah melayangkan surat ke Menteri Badan Usaha Milik Negara (ESDM) Rini Soemarno dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan terkait kekhawatiran gagal bayar PT PLN (Persero) terhadap utangnya.

‎Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)‎ Fabby Tumiwa mengatakan, kekhawatiran Sri Mulyani tersebut merupakan hal yang wajar. Lantaran, pertumbuhan pendapatan PLN dari penjualan listrik tidak meningkat signifikan pada semester I 2017.

"Dalam konteks surat pernyataan dari Bu Ani itu, memang yang dikhawatirkan itu, yang saya baca, dalam jangka pendek, revenue PLN tidak meningkat signifikan karena permintaan listriknya hanya tumbuh sekitar 2 persen di semester 1 kemarin. Padahal, ekspektasinya tumbuh 8 persen,"‎ kata Fabby, saat menghadiri Pertambangan dan Energi Expo 2017, di Kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Rabu (27/9/2017).

Fabby melanjutkan, beban PLN bertambah berat ketika harga energi primer, antara lain bahan bakar minyak (BBM) dan batu bara‎ naik. Sementara, pemerintah menetapkan tarif listrik tidak naik.

"Sementara, Menteri ESDM sudah bilang bahwa tarif listrik tidak naik. Berarti potensi untuk menaikkan revenue tidak ada, termasuk menunda perbaikan subsidi untuk 450 VA," ujar dia.

Fabby menuturkan, PLN harus melakukan berbagai upaya efisiensi, seperti mengurangi pengoperasian pembangkit yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Oleh karena itu, pembangkit listrik bergerak Mini Power Plan (MPP) yang saat ini menggunakan BBM harus beralih menggunakan gas.

"Dalam dua tahun terakhir, memang PLN itu untuk menaikkan rasio elektrifikasi dia bangun di mana-mana. Itu enggak pakai gas, tapi pakai BBM. Dulu sebenarnya disarankan pakai energi baru terbarukan, tapi agar cepat, PLN pakai PLTMG dengan BBM," ujar dia.

Selain itu, PLN harus menyesuaikan kebutuhan terkait pembangunan infrastruktur pembangkit dan ‎jaringan kelistrikan yang masuk dalam program kelistrikan 35 ribu Mega Watt (MW). Hal ini untuk meringankan beban usaha perusahaan dan menunda menambah utangnya.

‎"Beban lain adalah investasinya yang 35 ribu MW. Menurut saya, harus segera diputuskan, ada rasionalisasi investasi 35 ribu MW dan dibuat prioritasnya," ujar Fabby.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Sri Mulyani Ingatkan 2 Menteri

Menteri Keuangan Sri Mulyani melayangkan surat ke Menteri ‎Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Surat tersebut berisi kekhawatiran tentang kegagalan PT PLN (Persero) ‎membayar utang yang berisiko pada keuangan negara.

Seperti yang dikutip dari surat Menteri Keuangan bernomor‎ S-781/MK.08/2017, soal Perkembangan Risiko Keuangan Negara atas Penugasan Infrastruktur Ketenagalistrikan, Rabu (28/9/2017), Sri Mulyani menyampaikan lima poin penting yang harus diperhatikan Menteri Rini dan Menteri Jonan.

Pertama mengenai kinerja PLN ditinjau dari sisi keuangan terus mengalami penurunan, seiring dengan semakin besarnya kewajiban korporasi untuk memenuhi pembayaran pokok dan bunga pinjaman yang‎ tidak didukung dengan pertumbuhan kas bersih operasi.

Hal ini menyebabkan dalam tiga tahun terakhir Kementerian Keuangan harus mengajukan permintaan walver pada lender PLN, sebagai dampak terlanggarnya kewajiban pemenuhan covenant PLN dalam perjanjian pinjaman, untuk menghindari cross default atas pinjaman PLN yang mendapatkan jaminan pemerintah.

Kedua, terbatasnya internal fund PLN untuk melakukan investasi, dalam melaksanakan penugasan pemerintah berdampak pada ketergantungan PLN dari pinjaman, baik melalui pinjaman kredit investasi perbankan, penerbitan obligasi, maupun pinjaman dari lembaga keuangan internasional.

Ketiga, berdasarkan profil jatuh tempo pinjaman PLN, kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman PLN diproyeksikan akan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang.

Sementara itu, pertumbuhan penjualan listrik tidak sesuai dengan target, adanya kewajiban pemerintah untuk meniadakan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL), dapat berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar PLN.

Keempat, Sri Mulyani mengungkapkan, dengan mempertimbangkan bahwa sumber penerimaan utama PLN berasal dari TTL yang dibayarkan oleh pelanggan dan subsidi listrik dari pemerintah, kebijakan peniadaan kenaikan TTL perlu didukung dengan adanya regulasi yang mendorong penurunan harga biaya produksi listrik.

"Selain itu, kami mengharapkan saudara dapat mendorong PLN untk melakukan efisiensi biaya operasi, terutama energi primer guna mengantisipasi peningkatan risiko gagal bayar di tahun-tahun mendatang," lanjut Sri Mulyani dalam poin keempat surat tersebut.

Kelima, terkait dengan penugasan program 35 GW, Sri Mulyani berpendapat perlu dilakukan penyesuaian terkait target investasi PLN dengan mempertimbangkan ketidakmampuan PLN dalam memenuhi pendanaan investasi cashflow operasi, tingginya outlook debt maturity profile, serta kebijakan pemerintah terkait tarif, subsidi listrik, dan Penyertaan Modal Negara (PMN).

"Hal ini diperlukan untuk menjaga sustainabilitas fiskal APBN dan kondisi keuangan PLN yang merupakan sumber risiko fiskal pemerintah," tutup Sri Mulyani.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, belum bisa memberikan banyak komentar mengenai hal tersebut. Dadan mengaku akan memeriksa ke direktorat terkait. "Nanti saya cek ya, seharusnya sudah," jelas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya