Pasar Domestik Lesu, Pengusaha Batu Bara Pilih Ekspor

Pengusaha menilai permintaan batu bara di dalam negeri belum cukup menggembirakan.

oleh Rahman diperbarui 25 Okt 2017, 16:45 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2017, 16:45 WIB
Tambang batu bara di Kalimantan (Foto: Saeroni Liputan6.com)
Tambang batu bara di Kalimantan (Foto: Saeroni Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Pengusaha menilai permintaan batu bara di dalam negeri belum cukup menggembirakan. Bagi para pelaku bisnis komoditas yang disebut emas hitam ini, pasar ekspor disebut masih lebih menarik.

Ketua Indonesian Mining Association (IMA) Ido Hutabarat mengatakan, saat ini belum ada kejelasan tentang strategi hilirisasi batu bara di dalam negeri. Terbaru, tentang rencana pembangkit di mulut tambang pun disebutnya masih jauh dari realisasi.

“Sampai saat ini di Indonesia, hilirisasi untuk industri batu bara belum ada yang jalan. Karena itulah, pengusaha masih cenderung menjual langsung ke luar negeri,” ucap Ido saat Temu Profesi Tahunan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) di Balikpapan, Rabu (18/10) lalu.

Dia menyebut, di beberapa negara produsen batu bara, komoditas ini sudah diprioritaskan untuk kepentingan industri domestik. Sebut saja Afrika Selatan, yang lebih memilih menggunakan batu bara sebagai bahan bakar produksi pupuk.

“Setahu saya, Tiongkok pun sudah gencar melakukannya. Tapi apakah berhasil atau tidak, saya belum bisa pastikan, karena belum lihat langsung,” beber Presiden Direktur PT Arutmin Indonesia itu.

Dia menyebut, hilirisasi batu bara di Indonesia belum bisa direalisasikan dalam waktu dekat. Termasuk di Kaltim, yang terkenal sebagai salah satu produsen terbesar. Alasan paling mudah, kata Ido, adalah belum adanya upaya membangun smelter.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang menghambat. Paling jelas terlihat saat ini adalah pasar domestik yang belum menarik. Meski harga batu bara saat ini tengah bagus, dia menyebut, belum banyak penawaran menarik di dalam negeri. Oleh karena itu, tak heran, para penggiat emas hitam lebih memilih pasar ekspor.

Per September lalu, Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara acuan (HBA) di level US$ 92,03 per metrik ton. Naik 9 persen dari bulan sebelumnya. Meski demikian, harga batu bara tertinggi yang menjadi referensi, sebagian besar memang dialokasikan untuk permintaan dari luar negeri.

Ido melanjutkan, untuk hilirisasi, komoditas tambang lain jauh lebih berkembang. Sebut saja aneka logam, yang lebih banyak dijual dalam bentuk olahan.

Menurutnya, jika pemerintah ingin merealisasikan hilirisasi, sinergi dengan pemangku kepentingan harus lebih intensif. Termasuk dengan mendekati para pelaku usaha. Jika tidak, kalangan pebisnis, disebutnya akan selalu memilih jalan yang menguntungkan bagi mereka.

Ketua Umum Perhapi Tino Ardhyanto menilai, optimalisasi batu bara untuk kebutuhan domestik sebenarnya tak mustahil dilakukan. Seperti saat ini, kata dia, pemerintah sudah merancang proyek jangka menengah dan panjang.

“Itu semua butuh energi. Saya tidak bisa bilang itu besar. Kalau untuk menggantikan dominasi pasar ekspor, saya rasa itu bisa. Tapi, kita harus hitung lagi dengan cermat. Dan semua juga bergantung apakah program-program itu terlaksana sesuai rencana atau tidak,” beber Tino. (Saeroni)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya