Harga Minyak Cetak Rekor, Apa Penyebabnya?

Harga minyak WTI maupun Brent telah naik lebih dari 3 persen selama satu pekan ini.

oleh Arthur Gideon diperbarui 04 Nov 2017, 06:24 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2017, 06:24 WIB
Ilustrasi Harga Minyak Naik
Ilustrasi Harga Minyak Naik (Liputan6.com/Sangaji)

Liputan6.com, Jakarta - Harga miyak mentah Amerika Serikat (AS) naik pada perdagangan Jumat pekan ini sehingga saat penutupan mencetak rekor tertinggi dalam dua tahun. Kenaikan harga minyak AS ini karena jumlah sumur pengeboran yang aktif berkurang.

Selain itu, sentimen lain pendorong kenaikan harga minyak adalah peningkatan permintaan dunia dan juga ekspektasi bahwa negara-negara angggota organisasi eksportir minyak (OPEC) akan terus memperpanjang kesepakatan pengurangan produksi.

Mengutip Reuters, Sabtu (4/11/2017), harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik US$ 1,10 atau 2 persen ke level US$ 55,64 per barel, tertinggi sejak Juli 2015.

Sedangkan harga minyak patokan global yaitu Brent naik US$ 1,45 atau 2,4 persen ke level US$ 62,07 per barel. Brent telah meningkat sekitar 38 persen sejak menyentuh level terendah di bulan Juni 2017.

Baik harga WTI maupun Brent telah naik lebih dari 3 persen dalam perdagangan selama satu pekan ini.

Perusahaan energi AS memangkas delapan sumur pengeboran minyak pada pekan ini. Ini merupakan penutupan terbesar sejak Mei 2016. Penutupan sumur pengeboran mulai dilakukan oleh produsen minyak AS sejak musim panas lalu ketika harga minyak menyentuh level terendah yaitu di bawah US$ 50 per barel.

Jumlah sumur pengeboran turun menjadi 729 buah pada minggu pertama November ini dan merupakan tinggat terendah sejak Mei. Hal tersebut diungkapkan oleh perusahaan jasa energi Baker Hughes, a GE company.

"Pasar terus mencari dukungan untuk mendorong kenaikan harga minyak dari ekspentasi-ekspektasi yang telah ada," jelas director of market research Tradition Energy, Stamford, Connecticut, AS, Gene McGillian.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Permintaan China

Sentimen lain yang mendorong kenaikan harga minyak adalah ekspektasi pasar bahwa OPEC akan melanjutkan pemangkasan produksi.

Di akhir tahun lalu, negara-negara yang menjadi bagian dari OPEC dan juga beberapa negara lain di luar OPEC membuat kesepakatan untuk memangkas produksi sebesar 1,8 juta barel per hari.

Langkah tersebut untuk kembali menyeimbangkan harga minyak. Pasalnya, harga minyak telah anjlok dari sebelumnya di atas US$ 100 per barel menjadi di bawah US$ 50 per barel.

Kesepakatan tersebut berlangsung selama enam bulan dan dimulai sejak Januari 2017. Mendekati selesainya kesepakatan tersebut atau menjelang Juni, negara-negara yang bersepakat tersebut kembali berkumpul dan membuat kesepakatan baru dengan memperpanjang pengendalian produksi selama sembilan bulan atau hingga Maret 2018.

Saat ini Rusia yang menjadi salah satu negara di luar OPEC yang ikut bersepakat memberikan sinyal untuk kembali melanjutkan pengendalian produksi tersebut.

Faktor lain yang mendorong kenaikan harga minyak adalah peningkatan permintaan. Impor minyak yang dilakukan oleh China mencapai 9 juta barel per hari dan telah melampauai Ameirka Serikat.

"Dengan data tersebut ada gagasan bahwa ekonomi dunia telah pulih," jelas McGillian. Ia memperkirakan permitaan minyak dari China akan terus meningkat ke depannya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya