Liputan6.com, Jakarta - Konsorsium Jurnalis Investigasi (ICIJ) pada 6 November lalu merilis bocoran dokumen Paradise Papers. Sama halnya dengan Skandal Panama Papers yang diungkap tahun lalu, dokumen itu diperoleh oleh surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung, yang kemudian meminta ICIJ untuk melakukan penyelidikan.
Beberapa nama politikus dan pejabat pun masuk dalam skandal tersebut. Mereka diduga melakukan skema pengemplangan pajak demi mempertahankan kekayaannya.
Widya Kartika dari Perkumpulan Prakarsa, lembaga kajian kebijakan yang konsen terhadap isu pajak menuturkan, adanya Paradise Papers ini bisa mempengaruhi kepercayaan masyarakat pada Ditjen Pajak (DJP). Apabila tidak serius ditanggapi maka kepercayaan bisa menurun.
Advertisement
Baca Juga
"Ini bukan hanya soal ketidakadilan ya, tapi juga soal trust," tutur Widya dalam diskusi bertema 'Paradise Papers cerita Atau Fakta?', Sabtu (11/11/2017)
Hal yang sama juga dikatakan oleh Anggota DPR Hendrawan Supratikno dari Komisi XI. Dia menuturkan, meski tindakan menaruh uang off shore belum tentu bersalah, hal itu bisa menjadi indikasi ada hal-hal yang disembunyikan oleh oknum tertentu.
"Saya tidak bisa berspekulasi terlalu jauh. Siapa pun yang menempatkan dananya di luar negeri tentu memiliki agenda penting dalam hidupnya. Agenda ini apa, tentu ini bu Sri Mulyani dan timnya sedang penyelidikan," ungkapnya.
Widya juga menyoroti tentang skema perpajakan RI yang dinilai gagal dalam mendistribusikan kekayaan. Pada akhirnya, ini bermuara pada tingkat ketimpangan yang makin tinggi.
"Ketimpangan yang ada di Indonesia makin tinggi karena sistem pajak yang gagal mendistribusi," lanjut Widya lagi.
Meski orang miskin tidak dikenakan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), kata Widya, mereka masih harus membayar pajak pertambahan nilai.
"Jika ditelaah komponen pajak terbesar datang dari cukai yang bersumber dari rokok, ini konsumennya sebagian besar orang miskin. Ada studi mengatakan, 60 persen penerimaan cukai disumbang oleh orang miskin,"ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
DJP Bakal Selidiki Orang Tenar RI Masuk Daftar Paradise Paper
Sebelumnya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak atau Ditjen Pajak Kementerian Keuangan akan bergerak menganalisa dokumen surga atau yang lebih dikenal dengan Paradise Papers yang mencatut nama orang superkaya di Indonesia. Tentunya dengan langkah sesuai prosedur mulai dari pencocokan data.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Ken Dwijugiasteadi, mengaku akan bekerja seperti biasa mengolah data atau laporan yang diterima dari berbagai sumber, termasuk dari Paradise Papers. Hal ini sama dengan apa yang dilakukan saat Panama Papers dan data transfer uang melalui Standard Chartered menyeruak.
"Kalau menyangkut pajak, pasti sesuai dengan ketentuan saya lihat dulu. Pasti kami kerjakan, seperti Panama Papers, tapi hasilnya tidak bisa diumumkan ke publik," ujar dia usai Rapat Pimpinan (Rapim) di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa 7 November 2017.
Paradise Papers merupakan 13,4 juta dokumen yang berisi catatan kekayaan tersembunyi para elite dunia, termasuk Indonesia, demi menghindari pajak. Sebelumnya, tersebar pula data Panama Papers yang menyeret nama-nama miliarder global maupun nasional.
Dengan era pertukaran data secara otomatis untuk kepentingan perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI) per September 2018, Ditjen Pajak ke depan dapat langsung meminta data atau informasi dari Wajib Pajak Indonesia di luar negeri by request atau permintaan.
"Kalau sudah ada AEoI, kami bisa request kok," tegas Ken.
Sementara itu, Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak, Yon Arsal, mengatakan, seluruh data atau informasi yang diperoleh baik dari Paradise Papers, Panama Papers, dan sumber lainnya akan dilihat Ditjen Pajak untuk ditindaklanjuti.
"Sesuai SOP tidak hanya bicara Panama dan Paradise Papers, kalau terima data, kami akan sandingkan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak," dia menjelaskan.
Apabila ada perbedaan data yang diperoleh dengan SPT, ujar Yon, pihaknya akan memberikan imbauan kepada Wajib Pajak sampai ke tahap klarifikasi. Langkah selanjutnya, dia menjelaskan, jika wajib pajak tidak menanggapi imbauan dan tidak mengklarifkasi, maka akan dilakukan pemeriksaan.
"Kalau wajib pajak mau klarifikasi dan bayar, case closed. Tapi kalau tidak, ya diusulkan pemeriksaan dan ujungnya Surat Ketetapan Pajak (SKP)," ujarnya.
"Jika dia datanya valid, tapi tidak mau bayar SKP, maka jadi tunggakan pajak dan akan ada surat teguran, surat paksa, gijzeling (penyanderaan). Jadi perlakuannya sama atas semua data," ujar Yon.
Advertisement