Bos BI Ingatkan Risiko bagi Pemegang Bitcoin

Mata uang digital, seperti bitcoin di Indonesia sering kali digunakan untuk spekulasi.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 07 Des 2017, 20:15 WIB
Diterbitkan 07 Des 2017, 20:15 WIB
Bitcoin
Ilustrasi bitcoin (Liputan6.com/Sangaji)
Liputan6.com, Jakarta Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo kembali menegaskan agar masyarakat Indonesia tidak mengambil risiko dengan menggunakan mata uang virtual bitcoin. Pasalnya, bitcoin bukan alat pembayaran yang sah di Indonesia. 
 
"Posisi BI tetap, bitcoin bukan sistem pembayaran yang diakui di Indonesia. Jadi masyarakat tidak menggunakan itu sebagai sistem pembayaran," kata Agus saat di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (7/12/2017). 
 
Dia berpendapat ada risiko bagi pemegang bitcoin karena bertransaksi dengan alat pembayaran yang tidak diakui di Indonesia. Sayangnya, saat ditanya apa saja risiko untuk pemegang bitcoin, Agus tidak menjelaskan secara detail. 
 
 
"Kalau ada yang ingin mengetahui, silakan saja. Pesan ini disampaikan dengan kuat bahwa itu bukan sistem pembayaran yang diakui di Indonesia. Ada risiko bagi yang akan mencoba memegang bitcoin," tegas mantan Menteri Keuangan itu. 
 
Seperti diberitakan sebelumnya, mata uang digital, seperti bitcoin di Indonesia sering kali digunakan untuk spekulasi. Kondisi ini memicu kekhawatiran Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati akan terjadinya gelembung (bubble) ekonomi yang dapat merugikan negara ini. 
 
"Di Indonesia, harganya (mata uang virtual) makin tinggi dan dilirik sebagai salah satu bentuk investasi," ujar Sri Mulyani saat ditemui di Jakarta Convention Center, Kamis (7/12/2017). 
 
Dia berharap, produk mata uang virtual seperti bitcoin tidak dijadikan sebagai ajang spekulasi yang akan membahayakan Indonesia. "Kami tidak berharap terjadi suatu spekulasi atau bubble sehingga menimbulkan kerugian," paparnya. 
 
Oleh karena itu, pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus menjaga dan mengawasi penggunaan mata uang virtual. 
 
"Jadi proteksi mereka yang menggunakan barang tersebut (bitcoin), apakah sebagai investasi atau untuk tujuan lain harus tetap dalam konteks keamanan investasi dan sesuai rambu-rambu di bidang keuangan maupun mata uang," tutur Sri Mulyani. 
 
Menurutnya, regulasi mata uang virtual merupakan wewenang dari BI apabila menyangkut mata uang yang formal di Indonesia. Namun jika berkaitan dengan alat pembayaran atau investasi, merupakan ranah OJK yang memberi izin terhadap suatu produk yang aman untuk investasi. 
 
"Kalau (bitcoin) adalah suatu currency yang compiting terhadap currency yang formal di Indonesia, itu adalah suatu yang harus di-address bank sentral. Tapi kalau menyangkut alat pembayaran atau investasi, seharusnya OJK yang yang mengeluarkan (izin) itu safe bagi investasi," papar Sri Mulyani. 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya