KEIN: RI Menuju Industrialisasi Berbasis Inovasi dan Teknologi

Untuk keluar dari perangkap tersebut, sektor industri perlu tumbuh paling sedikit 1,5 persen di atas pertumbuhan ekonomi.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Des 2017, 12:15 WIB
Diterbitkan 19 Des 2017, 12:15 WIB
Pameran Teknologi Dunia
Teknisi wanita mendata tablet PC berteknologi Haier China di sebuah pabrik Industri Informatika, Komunikasi dan Elektronika Kuba (Gedeme) di Havana, Kuba (15/5). (AFP Photo/Adalberto Roque)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Zulnahar Usman mengatakan Deindustrialisasi adalah sebuah fakta yang tak dapat dipungkiri terjadi di Indonesia.

Ini terlihat dari kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terus merosot dari 29 persen pada 2001 menjadi hanya 20,6 persen pada 2016 dengan kecenderungan yang masih menurun.

Menurut dia, faktor Inilah yang diduga menjadi salah satu penyebab melemahnya perekonomian nasional yang berdampak pada merosotnya penjualan listrik yangcukup signifikan.

Bahkan, ada dugaan angka penjualan 2017 tidak akan melebihi angka penjualan2016 yaitu 2016 Twh padahal target PLN untuk 2017 adalah 235 Twh.

"Bila kontribusi industri manufaktur terhadap PDB terus menurun maka Indonesia dalam ancaman perangkap pendapatan menengah atau middle income trap," jelas Zulnahar dalam keterangannya, Selasa (19/12/2017).

Dia menuturkan, untuk keluar dari perangkap tersebut, sektor industri perlu tumbuh paling sedikit 1,5 persen di atas pertumbuhan ekonomi. Masalahnya, dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan sektor industri sudah berada di bawah pertumbuhan ekonomi.

Dalam kondisi seperti ini, sektor industri tidak akan dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang telah direncanakan dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional.

Salah satu contoh negara yang sukses menjalankan industrialisasi adalah Korea Selatan. Pada proses menuju negara industri maju, sangat jelas terlihat bahwa listrik, industri, dan PDB Korea Selatan saling terkait satu sama lain dalam sebuah hubungan kausalitas yang sangat erat.

Dia menggambarkan pada tahun 1950-an, nilai PDB per kapita Korea Selatan berada pada posisi yanghampir sama dengan Indonesia di kisaran US$ 800 per kapita.

Kemudian pada 1970-an - pada saat Korea Selatan mulai melakukan program industrialisasinya - nilai PDB per kapita Korea Selatan tidak berbeda jauh dengan Indonesia yakni US$ 2800.

Pada saat yang sama, nilai PDB per kapita Indonesia sebesar US$ 1500. Namun, 30 tahun kemudian, ekonomi Korea Selatan berhasil meroket bahkan menembus angka US$ 20.000, sementara Indonesia masih berada di level US$ 3000.

"Menariknya, hanya dalam kurun waktu 30 tahun, ekonomi Korea Selatan berhasil meroket menjadi negara berpenghasilan tinggi. Padahal, pada 1950-an, Korea Selatan dan Indonesia masih berada pada posisi yang relatif sama,"dia menambahkan.

Bedanya, kata dia, Korea Selatan mengandalkan program industri yang terstruktur dan masif dengan mengandalkan industri berat dan berteknologi maju atau industri yang selain padat investasi juga padat teknologi.

Sementara itu, pada periode yang sama, Indonesia justru mengembangkan industri yang bersifat padat karya dengan nilai tambah yang rendah.

 

Analisa Pokja

Dia mengatakan, menurut analisa Pokja Energi KEIN yang dipimpin olehnya, pelajaran penting dari proses industrialisasi Korea Selatan adalah listrik berperan dalam menumbuhkan PDB per kapita. Hal inilah yang belum di sadari Pemerintah Indonesia.

"Terlihat secara jelas pada saat PDB perkapita masih rendah maka listrik dapat dikatakan menjadi penyumbang utama terhadap PDB melalui industri manufaktur. Namun, ketika PDB per kapita sudah tumbuh di atas US$ 10.000, maka kontribusi listrik menjadi berkurang karena ekonomi kian bertambah kompleks," jelas Zulnahar.

Menurut dia, tanpa ada pasokan listrik yang tersedia dalam jumlah besar dan terjangkau maka tidak mungkin industri dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.

Pada titik ini, kata dia, jika Indonesia ingin lolos dari ancaman middle income trap dan loncat menjadi negara maju maka nilai PDB per kapita Indonesia harus tembus di atas US$ 6000 pada 2025 dengan konsumsi listrik di atas 2000 KWh per kapita.

Satu-satunya cara adalah harus menumbuhkan industri secara cepat, terstruktur dan masif. Harus ada program quick win yang fokus pada satu industri saja dan dapat dilakukan dalam sisawaktu pemerintahan yang secara cepat dapat membangkitkan ekonomi seperti industri pertambangan serta produk hilirisasi tambang dan kemudian di teruskan dengan program jangka panjang yang berkelanjutan bersifat padat investasi dan teknologi.

Industri yang berbasis teknologi dan inovasi adalah kunci untuk Indonesia menjadi negara maju dan besar. Tak dapat di sangkal bahwa Industri yang akan mendominasi dunia adalah elektronik dan tidak ada satupun elektronik yang tidak membutuhkan logam tanah jarang yang saat ini hampir 90 persen di pasok dari Tiongkok.

Padahal, Indonesia memiliki sumber daya logam tanah jarang sebagai mineral ikutan dalam timah dan monazite yang di duga cukup besar yang dapat menjadikan Indonesia Saudi Arabia logam tanah jarang.

Logam tanah jarang dapat menjadi umpan untuk mendatangkan investasi industri elektronikuntuk dapat menumbuhkan industri eletronik nasional dengan berkerjasama dengan KoreaSelatan atau Jepang yang keduanya tidak memiliki sumber daya logam tanah jarang.

Pemisahan logam tanah jarang dari monazite akan menghasilkan thorium yang dapat dijadikansumber bahan bakar dari pembangkit listrik tenaga thorium yang bersih tanpa emisi, memilikidensitas energi jauh lebih besar dibandingkan fosil dan dengan biaya murah.

Zulnahar Usman menandaskan jika Thorium tidak dapat disangkal akan menjadi energi masa depan dan logam tanah jarang akan menjadi komoditas yang akan lebih strategis dari minyak. "Keduanya dapat dijadikan prioritas industri nasional menujuindustri nasional berbasis inovasi dan teknologi," tutur dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya