Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggelar pertemuan dengan Menteri Kesehatan Nila Moeloek dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris. Dalam pertemuan tersebut, salah satu intinya yaitu meminta BPJS Kesehatan untuk melakukan efisiensi.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, dalam pertemuan tersebut dibahas soal upaya-upaya perbaikan yang harus dilakukan untuk mencapai target dari BPJS Kesehatan.
"Perbaikan-perbaikan yang targetnya mesti dilihat ngaturnya. Intinya menaikkan pendapatan dan mengurangi belanja. Intinya itu," ujar dia di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Kamis (28/12/2017).
Advertisement
Baca Juga
Misalnya untuk meningkatkan pendapatan, lanjut Nila, BPJS Kesehatan bisa melakukan sejumlah upaya seperti meningkatkan kemampuan teknologi informasi. Dengan begitu diharapkan masyarakat bisa lebih mudah melakukan pembayaran iuran yang pada ujungnya akan meningkatkan pendapatan BPJS Kesehatan.
"Jadi untuk meningkatkan pendapatan apa saja yang musti dilakukan, dikuatkan. Misalnya tambah personil atau tambah IT yang bagus sampai jelas yang bayar iuran itu. Jadi kedisplinan supaya pendapatan itu benar-benar baik," kata dia.
Selain itu, BPJS juga diharapkan melakukan efisiensi belanja di internalnya. Hal ini dilakukan salah satunya untuk mengurangi defisit yang dialami lembaga tersebut.
"Kemudian mengurangi pengeluaran tetapi dari sisi BPJS ya. Misalnya menambah pegawai padahal pendapatan tidak naik. Ini kan besar pasak dari tiang," lanjut dia.
Dan dengan upaya-upaya tersebut, kata Nila, maka secara otomatis juga akan mengurangi defisit yang tengah dialami oleh BPJS Kesehatan.
"Itu sama. Kalau kita administrasi lebih bagus, kita lebih efisien, tentu kita harapkan defisit juga akan turun. Misalnya contohnya iurannya benar-benar diambil semua, pengeluarannya diatur, tentu gap (defisit) itu makin kecil," tandas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Aturan Baru
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menerbitkan dua kebijakan baru guna mengatasi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dua kebijakan baru tersebut yaitu dengan pajak rokok dan Dana Bagi Hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT).
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Boediarso Teguh Widodo mengatakan, penerimaan pajak rokok pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp 13 triliun.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, 50 persen dari penerimaan pajak rokok bisa dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dari penyakit yang timbul akibat rokok.
Namun demikian, lanjut dia, nantinya hanya 75 persen dari ketentuan UU tersebut akan digunakan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Artinya, jika 50 persen dari penerimaan pajak rokok sebesar Rp 6,5 triliun, maka hanya 75 persennya atau sekitar Rp 4,9 triliun saja yang akan dialokasikan untuk BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Untuk yang pajak rokok, saya sampaikan 75 persen maksimal dari 50 persen yang di-earmarked (diperuntukkan), yang digunakan untuk BPJS. Pajak rokok itu kan 75 persen dari 50 persen itu untuk JKN. Dari situ nanti kan pajak rokok satu tahun sekitar Rp 13 triliun. Jadi Rp 6,5 triliun-Rp 7 triliun setengahnya. 75 persen dari setengahnya tadi untuk JKN," ujar dia di Jeep Station Indonesia, Bogor, Jawa Barat, Rabu (13/12/2017).
Sebagai payung hukum dari pemanfaatan pajak rokok ini akan tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) melalui Revisi PMK Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok. Ditargetkan aturan tersebut bisa terbit pada akhir tahun ini.
"Ini PMK lagi dibuat. Tentu paling berlakunya tahun depan, sekarang ini kan 2017 sudah di ujung. Untuk JKN kita akan eksekusi untuk 2018. Revisinya baru akan kita selesaikan," kata dia.
Advertisement
Dana Bagi Hasil
Sementara untuk DBH CHT, akan dialokasikan sebesar 50 persen dari penerimaan dari CHT untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Pada tahun ini, CHT diperkirakan akan mencapai Rp 2 triliun.
"CHT kan totalnya Rp 2 triliun. Dari total Rp 2 triliun kan 50 persen. Itu antara lain bisa digunakan untuk dukungan JKN. Tapi dari more or less Rp 1 triliun sebagian bisa untuk supply side penyediaan sarana prasarana kesehatan, penyediaan alat kesehatan, tapi juga bisa untuk iuran JKN," tandas dia.