Liputan6.com, Jakarta Semakin minimnya lahan di Jakarta membuat pemerintah mencoba membangun hunian ke atas seperti apartemen. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) saat ini juga tengah membuat program Rumah Sejahtera Susun, yaitu melalui pembangunan Rumah Sederhana Milik (rusunami).
Namun begitu, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Lana Winayanti menyebutkan, bahwa penjualan rusunami di Jakarta sejak 2015 masih tergolong sedikit.
"Selama 2 tahun ke belakang, yaitu 2015-2017, hanya ada penjualan 180 unit (rusunami) di Ibu Kota. Kalau kita hitung lagi, pada tahun kemarin itu hanya terjual 91 unit," ujar dia kepada Liputan6.com, seperti ditulis Minggu (11/2/2018).
Advertisement
Lebih lanjut Lana menjelaskan, salah satu faktor penyebab rendahnya angka penjualan unit rusunami adalah peraturan Kementerian Keuangan mengenai batasan harga jual.
"Untuk rusun ini, ada Peraturan Menteri Keuangan, yang menetapkan bahwa satu unit rumah susun baru akan bebas ppn kalau batas maksimal harga jualnya Rp 290 juta. Sementara di Jakarta di atas Rp 300 juta semua, dan kena PPN 10 persen. Itu mungkin yang memberatkan orang beli rusun," tutur dia.
Kementerian PUPR, menurutnya, sekarang tengah berupaya memperjuangkan agar harga rusun tersebut bisa bebas PPN. "Sedang kita perjuangkan ke Kementerian Keuangan supaya bebas PPN, jadi yang rusun bisa sama dengah harga yang di batasan jual," ucapnya.
Selain itu, Kementerian PUPR juga menyiapkan langkah lainnya agar harga rumah susun bisa ditekan, yakni dengan cara memisahkan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG) dan sertifikat tanah.
"Jadi misal tanah bisa milik pemda atau wakaf, dan SKBG bisa sampai maksimal 60 tahun. Itu masih kita perjuangkan payung hukumnya, supaya bisa dipakai sebagai agunan," terang dia.
"Kalau kita bisa melepaskan rusun dari tanah, jadi harga tanah gausah diitung. Itu salah satu upaya kita untuk membuat harga rumah susun bisa lebih terjangkau," pungkas Lana.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BPKN Soroti Perlindungan Konsumen Sektor Perumahan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyatakan pelanggaran-pelanggaran hak konsumen di sektor perumahan perlu mendapatkan perhatian pemerintah. Lantaran bila terus dibiarkan akan turunkan kepercayaan transaksi pasar perumahan dan properti umumnya. Ini berdampak negatif terhadap ekonomi nasional.
Ketua BPKN Ardiansyah Parman menuturkan, pelanggaran hak-hak konsumen di sektor perumahan sebagian besar terjadi karena belum disiplinnya pelaksanaan kebijakan terkait perumahan oleh pemerintah.
"Adanya perilaku pelaku usaha perumahan yang kurang bertanggung jawab terhadap konsumen," ujar Ardiansyah seperti dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (13/12/2017).
Baca Juga
Kebutuhan masyarakat akan perumahan baik komersial maupun nonkomersial masih sangat tinggi termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pada 2010, jumlah yang dibutuhkan dan belum terbangun mencapai 13,5 juta.
Bila pada 2015, pemerintah perkirakan angka backlog (kekurangan ketersediaan) rumah bagi masyarakat turun menjadi 11,4 juta unit. Angka ini diharapkan dapat ditekan menjadi 6,4 juta pada 2016 melalui program satu juta rumah.
Ardiansyah menuturkan, perhatian dari pemerintah menjadi penting karena insiden atas hak-hak konsumen perumahan dapat terjadi di semua jenis perumahan, rumah suusn komersial maupun rumah susun umum terdiri dari rusunawa (sewa) dan rusunami untuk MBR.
BPKN menilai, insiden hak konsumen yang marak terjadi untuk perumahan antara lain kasus konsumen tidak memperoleh sertifikat hak rumah/rusun walaupun pembangunan rumah atau rumah susun sudah selesai, serta harga tanah dan rumah sudah dibayar luas.
Kemudian kasus sertifikat nama pembeli tidak dapat diproses karena pembangunan rumahnya belum peroleh izin mendirikan bangunan, kasus pengembang yang menjaminkan sertifikat yang menjadi hak konsumen ke bank, kasus konsumen dengan lembaga pembiayaan, keluhan atas kualitas unit rumah.
Selain itu, kasus fasilitas umum dan sosial yang dijanjikan pengembang dan kasus variannya, kasus pelaksanaan kewajiban konsumen infrastruktur yang tidak sesuai janji pengembang, dan keluhan atas lamanya rentang waktu bagi pembentukan P3SRS. Sengketa penghuni dengan pengembang terkait aspek pengelolaan rumah susun antara lain listrik, gas dan air.
"Kasus-kasus atas hak masyarakat konsumen perumahan ini terjadi badik di rumah susun maupun rumah tapak. Kasus perumahan di atas menimbulkan adanya ketidakpastian hukum bagi bagi konsumen pertama maupun konsumen berikutnya. Kasus-kasus itu seharusnya tidak boleh terjadi," kata dia.
Advertisement
Perlu Pembaruan Aturan
Apalagi seiring meningkatnya penyediaan perumahan bagi masyarakat, pertumbuhan bisnis dan kepemilikan perumahan berkembang sangat cepat dan luas. Hal ini perlu diiringi akses pemulihan hak dan kepastian hukum memadai bagi konsumen perumahan.
"Hukum yang pengaturan terkait perlindungan perumahan dan perlindungan konsumen perumahan sendiri sebenarnya cukup memadai. Antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, UU Nomor I Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman, dan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang rumah susun," jelas Ardiansyah.
Ia menambahkan, UU itu sudah memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi konsumen jika tahapan dan persyaratan dari proses jual beli rumah dan rumah susun dilaksanakan secara utuh dan benar.
Dia menuturkan, kedua UU tersebut memerlukan pembaruan aturan pelaksanaan. Aturan pelaksanaan terkait rumah susun saat ini masih merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 1988 tentang rumah susun dan pelaksanaannya.
"PP itu memerlukan pembaruan dan penyesuaian agar mampu akomodasi amanat berbagai UU yang lebih baru seperti UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, UU Nomor 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman dan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang rumah susun," kata dia.
BPKN mengharapkan agar masyarakat sebagai konsumen juga meningkatkan pengetahuan dan pemahaman atas aspek terkait transaksi pembelian rumah tapak dan rumah susun. Konsumen perlu perhatikan hal ini saat bertransaksi antara lain ada kepastian lokasi rumah atau rumah susun sesuai rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dengan dimilikinya izin lokasi.
Selain itu, kepastian telah dimilikinya tanah oleh pengembang dengan menunjukkan sertifikat hak atas tanah, dokumen pertelaan batas yang jelas setiap sarusun, bagian bersama, benda dan tanah bersama yang sudah disahkan oleh pemerintah kabupaten dan kota, ada izin mendirikan bangunan serta ada jaminan dari lembaga pembiayaan untuk terlaksananya pembangunan rumah dan rumah susun.
"BPKN sangat berharap agar melalui Peraturan Pemerintah (PP) baru pengganti PP Nomor 48 tahun 1998 tentang rumah susun dan peraturan pelaksanaan dapat diatur dengan sebaik-baiknya standar pengelolaan rusun bersama, dengan mengedepankan prinsip-prinsip perlindungan konsumen yang berkeadilan. Dengan demikian dapat terbangun manfaat kelengkapan dan standar anggaran rumah tangga untuk dipergunakan oleh semua P3SRS," kata Ardiansyah.