Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Rizky Ananda Wulan Sapta Rini menyebut bahwa rencana Pemerintah Jokowi-JK untuk membatalkan rencana pencabutan peraturan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) batu bara hanya untuk meredam kegaduhan publik. Dia menilai, pembatalan pencabutan tersebut akibat adanya tekanan dari berbagai pihak.
Dengan demikian, masih ada upaya dari para pihak untuk kembali menggulirkan isu pencabutan kebijakan DMO ini. "Ada kemungkinan peluang pencabutan akan dilakukan kembali," ujarnya dalam diskusi media Tarik Ulur Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) Batu bara, di Cikini, Jakarta Pusat , Rabu (1/8/2018).
Dia pun mendesak pemerintah untuk tetap konsisten dengan kebijakan kewajiban DMO batu bara sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (UU Minerba).
Advertisement
Baca Juga
"Kewajiban DMO ini bukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan pasokan batu bara bagi PLN atau pun menyelamatkan keuangan PLN. Tetapi lebih dari itu, kewajiban DMO batu bara sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan produksi batu bara yang selama puluhan tahun dieksploitasi tanpa batas," bebernya.
Rizky mengungkapkan, penghapusan harga khsusus DMO batu bara ini sebetulnya akan menambah beban PLN setidaknya USD 4,2 miliar atau setara dengan Rp 58 triliun. Di mana beban ini ditimbulkan dari selisih harga khusus DMO (70 USD) dan harga batu bara acuan Juli (USD 104,65).
"Sementara iuran ekspor yang dikumpulkan hanya USD 1,39 miliar atau Rp 19,47 triliun dengan tarif maksimal sebesar USD 2-3 dan penambahan 100 juta ton yang diwacanakan oleh Menko Maritim, PLN juga akan tetap terbebani sebesar USD 28 miliar atau Rp 39 triliun," jelasnya.
Kepala Seksi Pengawasan Usaha Oprasi Produksi Batu Bara Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), Hersanto Suryo Raharjo pun mengaku pihaknya terus melakukan komunikasi baik dari pengusaha maupun juga PLN. Hal itu dilakukan agar tekebutuhan pasokan PLN tetap terjaga.
"Kami meminta kepada seluruh produsen batu bara koordinasi dengan PLN melihat apasih kendalanya PLN sejauh ini, apa kendala pasokannya? Tetapi tidak masalah harga USD 70 dolar tetap dijalankan. Kita tetap melakukan pengawasan kita minta kondisi PLN terkait dengan pasokan batu bara," tandasnya.
Reporter:Â Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Pencabutan Harga Batu Bara Dinilai Untungkan Kontraktor Tambang
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesian Re‎sources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, rencana perubahan kebijakan harga batu bara khusus kelistrikan tertinggi USD 70 per ton, hanya mengakomodir perusahaan tambang.Â
BACA JUGA
"Latar belakang perubahan ini kepentingan kontraktor tambang batu bara untuk membatalkan peraturan itu," kata dia dalam sebuah diskusi di Kawasan Cikini, Jakarta, Selasa 31 Juli 2018.
Menurut Marwan, jika kebijakan patokan harga tertinggi batu bara untuk sektor kelistrikan dicabut, maka akan memberatkan PT PLN karena Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik akan menyesuaikan harga pasar batu bara yang saat ini sedang melambung.
Marwan melanjutkan, agar kenaikan BPP listrik tidak ‎membebani PLN, maka jalan keluarnya dengan meningkatkan ‎beban subsidi listrik agar tarif listrik tidak naik atau kenaikan harga listrik yang dibebankan ke masyarakat.
Marwan pun mempertanyakan, keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. Pasalnya, jika kebijakan harga batu bara khusus kelistrikan benar dihapus, maka yang memperoleh keuntungan adalah pengusaha tambang batu bara.
"Kalau ini dicabut beban meningkat, berdampak pada listrik yang dibayar ke konsumen. Kalau nggak naik ‎maka pemerintah nambah subsidi. Kontraktor batu bara dapat untung keuntungan besar. Pajak memang meningkat tapi keuntukan mereka lebih naik. Pak Jokowi, Pak Luhut memihak siapa? pengusaha atau penduduk Indonesia?," dia menandaskan.
Advertisement