Liputan6.com, Jakarta Pertumbuhan penduduk dan ekonomi membuat permintaan pasokan listrik terus meningkat. Ini yang membuat pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan dinilai merupakan kebutuhan nasional yang sudah tidak bisa ditunda lagi.
Pengamat Energi, Marwan Batubara, mengatakan, pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber pasokan listrik akan menghemat devisa dan anggaran negara.
Selama ini, biaya produksi listrik PLN mahal karena sebagian besar pembangkitnya berbasis diesel sehingga dibutuhkan impor solar yang banyak dan berkonsekuensi menekan kurs rupiah terhadap dollar AS.
Advertisement
Dia menegaskan, Indonesia harus mewujudkan kemandirian energi dengan mengoptimalkan energi baru dan terbarukan untuk memenuhi kebutuhan nasional. "Pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan sangat lestari dan sampai sekarang belum ada dampak negatifnya terhadap lingkungan, terutama hutan," ujar Marwan.
Sementara itu, pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan dinilai tidak akan berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan.
Seperti pembangunan energi terbarukan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yang berada di luar kawasan hutan dan berjalan sesuai rekomendasi pemerintah dan standar internasional.
PLTA Batang Toru merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk mendorong pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi ke luar Pulau Jawa.
Proyek ini menggunakan energi baru terbarukan yang menjadi perhatian utama Presiden Jokowi dan Wapres Kalla berkaitan mengantisipasi perubahan iklim.
Proyek ini merupakan pembangkit energi terbarukan yang ditargetkan beroperasi tahun 2022.
Pembangkit berteknologi canggih ini didesain irit lahan dengan hanya memanfaatkan badan sungai seluas 24 hektare (ha) dan lahan tambahan di lereng yang sangat curam seluas 66 ha sebagai kolam harian untuk menampung air.
Air kolam harian tersebut akan dicurahkan melalui terowongan bawah tanah menggerakkan turbin yang menghasilkan tenaga listrik sebesar 510 MW.
PLTA Batang Toru sangat efisien dalam penggunaan lahan, terutama jika dibandingkan dengan Waduk Jatiluhur di Jawa Barat yang membutuhkan lahan penampung air seluas 8.300 Ha untuk membangkitkan tenaga listrik berkapasitas 158 MW.Contoh Terbarukan
Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu menilai PLTA Batang Toru contoh proyek yang memanfaatkan kekayaan alam secara lestari dengan mengembangkan energi terbarukan.
Dia mendorong pemerintah untuk terus berkreasi mengelola kekayaan alam dengan baik agar bisa memberi manfaat kepada masyarakat.
“Kita bersyukur Indonesia dianugerahi kekayaan alam dengan energi yang begitu luar biasa. PLTA Batang Toru ini salah satu contoh pengelolaan kekayaan alam yang baik,” kata dia.
Menurut dia, energi listrik sudah menjadi kebutuhan mendasar dan bentuk peradaban manusia modern.
Dia mengaku Komisi VII DPR mendukung sepenuhnya pengerjaan PLTA Batang Toru karena kebutuhan listrik akan terus mengalami perkembangan.
Hal mendasar dari dukungan ini karena PLTA Batang Toru menggunakan tenaga air yang ramah lingkungan. Konsep ini memberikan dampak positif pada pengurangan emisi karbon 1,6 megaton per tahun sesuai Piagam Paris 2015.
Menurut Gus Irawan, memang sudah sepantasnya Indonesia meninggalkan pola lama seperti mengandalkan solar dan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Selain berbiaya mahal, lanjutnya, kedua bahan bakar itu menyebabkan kualitas udara tidak sehat.
“Cadangan minyak kita tinggal sepuluh tahun lagi. Jadi memang harus beralih ke air atau panas bumi (geothermal),” ungkapnya.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Ada PLTA Terbesar di Sumut, RI Bisa Hemat Rp 5 Triliun per Tahun
PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) memastikan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru tetap berlanjut meski mendapat penolakan dari penggiat lingkungan. PLTA swasta terbesar di Sumatera Utara (Sumut) ini ditargetkan selesai pada 2022.
Senior Advisor Bidang Lingkungan NSHE Agus Djoko Ismanto mengungkapkan, PLTA berkapasitas 4×127,5 Mega Watt (MW) ini berlokasi di Sungai Batang Toru, Desa Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumut.
Baca Juga
Area konstruksi PLTA Batang Toru terletak di Kecamatan Marancar, Sipirok, dan Batang Toru. Lahan yang digunakan sebagai lokasi dari PLTA Batang Toru berada pada lahan dengan status Areal Pengunaan Lain (APL).
"Area yang kami mau bangun PLTA didominasi lahan perkebunan karet, kelapa sawit, ladang, lahan pertanian. Bukan hutan lindung dan tidak ada pemukiman warga," tegas Agus saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, baru-baru ini.
Ia mengklaim, proyek pembangunan PLTA Batang Toru tidak mengganggu lingkungan karena sudah ada fragmentasi habitat secara alami oleh Sungai Batang Toru. Sungai sepanjang 174 km ini memisahkan habitat satwa liar di blok Timur dan Barat.
"Area ini juga bukan tempat yang disukai orangutan karena dikelilingi lereng terjal, dan bukan kawasan konservasi," ujarnya.
Lebih jauh Agus menjelaskan, NSHE telah memperoleh izin lokasi dari Pemerintah Daerah (Pemda) Tapanuli Selatan seluas 7.000 hektare (ha). Lahan itu digunakan untuk melakukan survei, menentukan lokasi proyek dan perencanaan lainnya.
Luas lahan yang dibutuhkan dan telah dibebaskan dari masyarakat untuk pengerjaan proyek ini, diakuinya, seluas 566,3 ha atau 9 persen dari total izin lokasi 7.000 ha. Sisanya 91 persen akan dikembalikan ke Pemda Tapanuli Selatan.
"Kami sebut PLTA ini irit lahan," ujarnya.
Dari total lahan 566,3 ha atau 5,66 juta meter persegi (m2), di antaranya untuk pembangunan bendungan atau DAM seluas 70 ribu m2, sedangkan luas genangan 900 m2. Untuk pembangunan jalan untuk proyek PLTA Batang Toru seluas 2,66 juta m2.
Advertisement