Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak menguat terutama harga minyak Brent yang melonjak lebih dari tiga persen ke posisi tertinggi dalam empat tahun.
Kenaikan harga minyak itu didorong usai Arab Saudi dan Rusia mengesampingkan setiap peningkatan langsung dalam produksi meski Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meminta untuk menaikkan pasokan global.
The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) atau Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan negara non-OPEC termasuk Rusia berkumpul di Aljazair pada Minggu. Dari hasil pertemuan tidak ada rekomendasi resmi untuk meningkatkan pasokan tambahan yang imbangi penurunan pasokan dari Iran.
Advertisement
Baca Juga
"Pasar masih didorong kekhawatiran pasokan Iran dan Venezuela. Kegagalan produsen mengatasi hal itu menciptakan peluang membeli," ujar Direktur Stamford, Gene McGillian, seperti dikutip dari laman Reuters, Selasa (25/9/2018).
Harga minyak Brent naik USD 2,4 atau 3,1 persen ke posisi USD 81,20 per barel usai sentuh level tertinggi intraday di posisi USD 81,39, yang merupakan level tertinggi sejak November 2014. Kemudian harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat USD 1,3 atau 1,8 persen ke posisi USD 72,08.
Pemimpin OPEC Arab Saudi dan produsen minyak terbesar lainnya di luar OPEC secara efektif menolak permintaan Trump untuk menenangkan pasar.
"Saya tidak pengaruhi harga," ujar Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih.
Pada pekan lalu, Trump menuturkan OPEC harus menurunkan harga minyak sekarang. Akan tetapi, Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh tidak menanggapi permintaan Trump secara positif.
"Sekarang semakin jelas, dalam hadapi produsen enggan untuk meningkatkan produksi. Pasar akan dihadapkan dengan kesenjangan pasokan dalam tiga hingga enam bulan ke depan yang perlu diselesaikan melalui harga minyak lebih tinggi," ujar Analis BNP Paribas, Harry Tchillinguirian.
Harga Minyak Brent Berpotensi Sentuh USD 90 per Barel
Pelaku pasar Trafigura dan Mercuria menyatakan, harga minyak Brent bisa naik menjadi USD 90 per barel pada Natal dan tembus USD 100 pada awal 2019. Hal ini seiring pasar mengetat usai sanksi AS terhadap Iran sepenuhnya dilaksanakan pada November.
JP Morgan menyatakan, sanksi AS terhadap Iran dapat sebabkan hilangnya minyak 1,5 juta barel per hari. Sementara itu, Mercuria memperingatkan sebanyak 2 juta barel per hari akan keluar dari pasar.
Analis United-ICAP, Brian LaRose menuturkan, kekhawatiran kekurangan produksi mendorong pelaku pasar untuk menempatkan lebih banyak taruhan panjang dan meningkatkan harga minyak Brent.
"Ini adalah ketujuh kalinya, selama beberapa bulan terakhir, kami hadapi harga minyak tinggi mengacu pada kontrak individu dan lanjutan. Jika harga minyak Brent melewati USD 82 per barel, harga USD 90 akan jadi kemungkinan jangka pendek," ujar LaRose.
Sejumlah kalangan mengatakan melemahnya permintaan imbas perang dagang antara AS dan China untuk imbangi hilangnya pasokan Iran. Namun, harga minyak akan melonjak seiring perang dagang mendorong permintaan China merosot.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement