Liputan6.com, Jakarta Presiden Direktur Bank BCA Jahja Setiaatmadja mengakui, permintaan kredit terhadap industri perbankan saat ini melonjak signifikan. Namun, pada saat yang bersamaan perbankan mengalami masalah likuiditas.
"Di satu sisi kenaikan kredit lumayan bagus. Di kita saja saya rasa mungkin full year bisa di atas 12 persen. Tapi bank-bank lain kendalanya likuiditas ketat, mereka walapun ada kenaikan permintaan kredit sulit memberi pinjaman karena likuditas kurang, itu yang harus dicermati,"Â jelas dia di Jakarta, Selasa (9/10/2018).
Advertisement
Baca Juga
Jahja tidak menampik, untuk menarik dana nasabah itu, kemungkinan bank-bank yang alami masalah likuiditas akan menawarkan special rate (tingkat bunga yang menarik atau lebih tinggi) untuk deposito.
"Mungkin perbankan yang likuditasnya kurang, mau nggak mau ya naikin special rate, kalau nggak kan kabur dananya," jelas dia.
Dia pun menyarankan perbankan sebaiknya dapat memilah jenis-jenis proyek yang menjadi skala prioritas perusahaan untuk dibiayai.
"Misalnya saja, Kementerian Perhubungan banyak proyek untuk infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan itu semua butuh rupiah untuk financing, nggak mungkin mereka butuh dana dari luar karena terlalu banyak. Ini salah satu juga yang kita sebagai bank harus pilah-pilah kebutuhannya," tandas dia.
Â
Â
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Rupiah Merosot, Bos BCA Sebut Industri Perbankan Sudah Belajar dari Krisis 1998
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja, mengatakan industri perbankan telah mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah yang kini telah tembus 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
"Industri perbankan sejak 98 sudah belajar ya, jadi kita juga mengelola dolar AS sudah lebih baik. Enggak ada yang spekulasi, enggak ada pinjaman yang terlalu banyak dalam dolar, jadi saya rasa perbankan sudah lebih siap," tuturnya di Pacific Place, Jakarta Selatan, Selasa (09/10/2018).Â
Meski mata uang rupiah tersungkur dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS), Jahja berpendapat, mata uang lain juga mengalami hal yang sama. Salah satunya ialah mata uang Jepang yakni yen.
Baca Juga
"Kenaikan dolar memang ada, tapi yen juga tercatat melemah cukup besar juga. Jadi saya kira sepanjang kepanikan berlebih tidak terjadi, maka ini bisa terkendali," ujar dia.
Jahja menambahkan, nilai tukar rupiah yang melemah terjadi belakangan justru berdampak signifikan kepada sektor riil RI. Industri ini dinilai berpengaruh besar pada fluktuasi harga-harga barang di pasar.
"Sektor riil karena bahan baku dari produk-produk kita itu masih impor. Ini sedikit banyak ada kenaikan daripada harga. Itu harus dilihat dampaknya ke inflasi," ujar dia.
Oleh sebab itu, dia berharap inflasi yang menimpa industri dapat tetap terjaga dalam rentang harga yang proporsional.Â
"Karena kita harus balanced ya antara kurs, suku bunga, serta inflasi ini. Jadi yang penting kita bisa jaga inflasi tidak terlalu tinggi supaya harga barang tak melonjak tinggi," kata dia.
Â
Â
Â
Â
Advertisement