Harga Minyak Anjlok 7 Persen

Harga minyak mentah Brent berjangka turun USD 4,50, atau 6,7 persen menjadi USD 62,29 per barel.

oleh Arthur Gideon diperbarui 21 Nov 2018, 05:30 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2018, 05:30 WIB
Ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak merosot kurang lebih 7 persen pada penutupan perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta). Pendorong penurunana harga minyak ini karena kekahwatiran akan pasokan yang terus bertambah dan penurunan permintaan karena perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.

Mengutip Reuters, Rabu (21/11/2018), harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS turun USD 3,90 atau 6,8 persen ke level USD 53,30 per barel pada pukul 2.01 siang waktu New York.

Kontrak minyak AS ini sempat jatuh 7,7 persen pada awal sesi menjadi USD 52,77 per barel dan merupakan level terendah sejak Oktober 2017.

Sedangkan untuk harga minyak mentah Brent berjangka turun USD 4,50, atau 6,7 persen menjadi USD 62,29 per barel.

Patokan harga minyak internasional ini sempat jatuh sebanyak 7,6 persen menjadi USD 61,71 per barel yang merupakan level terendah sejak Desember 2017.

Penurunan harga minyak pada perdagangan hari selasa ini memperpanjang penurunan yang terjadi ssejak awal Oktober. Harga WTI telah jatuh lebih dari 30 persen dari angka puncak pada awal Oktober, terbebani oleh lonjakan pasokan dan aksi jual aset berisiko di seluruh dunia.

Harga minyak Brent telah kehilangan sekitar 28 persen untuk periode yang sama.

"Penurunan harga minyak kali ini lebih karena risiko,” kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates.

"Ketika pasar saham turun 8 atau 9 persen itu cenderung menyulap citra ekonomi global yang lemah dan memenuhi harapan akan permintaan minyak yang lebih lemah dari perkiraan." tambah dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Hubungan AS dengan Arab Saudi

Ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Harga minyak juga mengalami tekanan setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan Amerika Serikat bermaksud untuk tetap menjadi mitra setia Arab Saudi meskipun Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman tersangkut dalam kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di di Turki yang terjadi pada bulan lalu.

Pasar minyak mengalami tekanan karena adanya potensi gangguan pasokan di tengah ketegangan yang meningkat antara Amerika Serikat dan Arab Saudi atas pembunuhan itu.

Namun para analis mengatakan ancaman terhadap pasokan terbatas sudah mulai terjadi.

"Saya tidak pernah benar-benar memahami pengaruh dari friksi antara AS dan Arab Saudi dari sudut pandang kebijakan," kata Joe McMonigle, analis kebijakan energi senior di Hedgeye Risk Management, Washington, AS.

"Saya pikir hari ini apa yang mendorong minyak adalah aksi jual di pasar saham." tambah dia. 

Sementara itu, Amerika Serikat sedang mempertimbangkan menambahkan Venezuela, salah satu pemasok minyak mentah terbesarnya, ke daftar sponsor terorisme.

Ekspektasi untuk pekan kesembilan persediaan persediaan minyak mentah AS juga membebani harga. Analis yang disurvei menjelang data mingguan memperkirakan stok minyak mentah naik sekitar 2,9 juta barel pada pekan lalu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya