Perang Dagang AS-China Bakal Untungkan Negara di Asia Tenggara

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China mendorong perusahaan global untuk kembali mempertimbangkan manufaktur dan pabriknya di China.

oleh Agustina Melani diperbarui 25 Nov 2018, 06:48 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2018, 06:48 WIB
Pertumbuhan Ekspor Kuartal III 2018 Menurun
Sebuah Perahu nelayan melintas di dekat kapal yang mengangkut peti kemas di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (6/11). (Merdeka.com/ Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China mendorong perusahaan global untuk kembali mempertimbangkan manufaktur dan pabriknya di China.

Berdasarkan laporan perusahaan konsultan Bain and Co, kondisi tersebut memberikan keuntungan bagi negara di Asia Tenggara. Managing Partner for Southeast Asia, Satish Shankar menuturkan, dalam jangka pendek, akan ada efek di wilayah untuk tujuan ekspor terutama Amerika Serikat.

"Segera ekspor ke China, kemudian ke Amerika Serikat. Ini berdampak terhadap industri seperti tekstil dan elektronik. Bagaimana pun juga jangka panjang, kami percaya ASEAN sangat menarik sebagai alternatif supply chain perusahaan yang mencari diversifikasi selain China,” tutur dia, seperti dikutip dari laman CNBC, seperti ditulis Minggu (25/11/2018).

Bain prediksi, perusahaan pertimbangkan memindahkan supply chain-nya ke Asia Tenggara. Perusahaan menengah dan usaha kecil di wilayah tersebut akan lebih mengadopsi lebih banyak teknologi dalam operasi hariannya. Ini dapat ciptakan kesempatan USD 1 triliun. 

AS menerapkan tambahan untuk daftar barang China sejak Juli. China pun merespons dengan barang impor AS meski Presiden China Xi Jinping mengecam proteksionisme.

Investor kini memantau pertemuan yang sangat dinanti-nantikan antara kedua negara ketika Xi Jinping bertemu Presiden AS Donald Trump pada KTT G20 yang berlangsung pada 30 November-1 Desember. Investor mencari petunjuk apakah ada terobosan untuk selesaikan perang dagang.

 

Selanjutnya

Kinerja Ekspor dan Impor RI
Tumpukan peti barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Ekspor dan impor masing-masing anjlok 18,82 persen dan ‎27,26 persen pada momen puasa dan Lebaran pada bulan keenam ini dibanding Mei 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Shankar menuturkan, bahkan jika ketegangan perang dagang membara, perusahaan masih akan coba dan mengalihkan beberapa rantai pasokannya ke Asia Tenggara. Menurut dia ada dua alasan mengenai hal tersebut.

"Salah satunya proses yang sudah berjalan dan pengalaman perusahaan di negara tersebut seperti Vietnam dan Thailand yang positif. Kedua, ini hanya praktik bisnis yang baik untuk memastikan bahwa bisnis Anda terdiversifikasi dan tidak memiliki risiko konsentrasi di supply chain,” ujar dia.

Ia menuturkan, ke depan, perusahaan beralih ke rantai pasokan yang memiliki banyak sumber pasokan untuk produksi tertentu.

Prospek dan demografi pertumbuhan Asia Tenggara telah menarik minat banyak investor yang ingin tanamkan modal di wilayah tersebut.Apalagi berdasarkan studi terbaru, ekonomi digital di Asia Tenggara akan melampaui USD 240 miliar pada 2025. Ini karena koneksi jaringan.

"Ini adalah blok ekonomi terbesar kelima sebanding dengan ukuran di Inggris dan India. Pertumbuhannya mencapai 4,5 hingga 5 persen. Ada banyak investasi langsung yang datang ke wilayah itu," ujar Shankar.

Ia menambahkan, kehadiran perusahaan yang dinamis membuat ASEAN menjadi basis rantai pasokan yang sah. Ia menuturkan, setiap negara di kawasan itu memiliki spesialisasi yang berbeda. Contohnya Thailand memiliki sektor otomotif yang kuat. Sementara itu, Vietnam kuat di bidang tekstil dan komponen elektronik.

"Perusahaan juga akan memperoleh manfaat dari permintaan domestik yang kuat di kawasan ini," tutur dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya