Menhub Beri Garuda Waktu 2 Minggu Turunkan Harga Tiket Pesawat

Saat ini mayoritas tiket angkutan udara pelat merah itu masih didominasi sub class tertinggi atau paling mahal.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Apr 2019, 19:17 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2019, 19:17 WIB
Ilustrasi tiket pesawat
Ilustrasi tiket pesawat (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi memberikan waktu kepada maskapai penerbangan milik negara PT Garuda Indonesia untuk menyesuaikan harga tiket pesawat sesuai skema sub class. Skema yang dimaksud adalah harga tiket batas bawah dengan porsi 5 hingga 10 persen.

"Kalau 2 minggu lagi tidak bisa ya saya tetapin," ujar Menhub di Senayan, Jakarta, Rabu (17/4/2019).

Menhub menilai, saat ini penurunan tiket Garuda belum dirasakan masyarakat. Dia pun mengaku sudah bertemu dengan Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Ashkara.

"Jadi saya masukkan, sama kayak dulu, kalau orang beli itu terpampang tentang Y-Class dan segala macam (subclass lain). Sehingga orang tinggal milih," jelas dia.

Mantan Direktur Angkasa Pura II itu menyebutkan, saat ini mayoritas tiket angkutan udara pelat merah itu masih didominasi sub class tertinggi atau paling mahal. Padahal sudah ada kesepakatan untuk menurunkan harga tiket pesawat.

"Garuda dari dulu sepakat tetapi saya menganggap apa yang dilakukan selama ini tidak clear. Ini kan yang justru jadi catatan itu dari temen-temen sekalian," tandasnya.

BPKN Minta Pembatasan Penerbangan Maskapai Asing

Ilustrasi tiket pesawat
Ilustrasi tiket pesawat (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk membatasi bandara yang bisa didarati oleh pesawat asing.

Hal ini guna memberikan kesempatan maskapai dalam negeri untuk mengembangkan bisnisnya.

Ketua BPKN, Ardiansyah Parman mengatakan, Kemenhub perlu memikirkan strategi agar maskapai nasional bisa tetap hidup di tengah persaingan bisnis penerbangan. Salah satunya dengan memberikan ruang yang lebih luas untuk menggarap pasar penerbangan di dalam negeri.

"Kalau saja pesawat internasional hanya mendarat di airport tertentu, akan membuat penerbangan domestik jadi hidup. Ini dalam rangka strategi memenangkan bagaimana membangun perdagangan jasa di dalam negeri," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (10/4/2019).

Dia mencontohkan, jika maskapai asing mendarat di Bandara Kualanamu, Medan, pesawat tersebut tidak boleh melanjutkan penerbangan ke bandara lain di dalam negeri.

Untuk mencapai daerah tujuan lain, turis asing harus menggunakan maskapai nasional yang melayani rute yang ingin dituju turis asing tersebut.

"Misalnya pesawat internasional hanya turun di Bandara Kualanamu dan di Makassar, itu tidak boleh ke airport yang lain. Dari Kualanamu ke bandara-bandara domestik diangkut oleh penerbangan domestik, ke Bali, Surabaya, Jakarta dan lain-lain. Dengan demikian penerbangan domestik hidup," kata dia.

Sebaliknya, jika nantinya semua bandara di daerah dibangun dan dibuka untuk penerbangan internasional, lanjut Andriansyah, dirinya khawatir maskapai nasional perlahan-lahan akan mati dan penerbangan domestik justru dikuasai oleh maskapai asing.

"Itu strategi agar volume penerbangan domestiknya meningkat. Jadi ini strategi yang harus dibangun, tidak bisa semua airport atau pelabuhan dimasuki pesawat dan kapal asing. Ya domestiknya tidak punya peluang. Tapi kalau nantinya semua airport kabupaten kota bangun, boleh pesawat asing masuk, ya domestiknya habis. Jadi jangan berlomba membangun tetapi mematikan bisnis kita sendiri. Kita bukan anti dengan kelancaran," tandas dia.

 

Tarif Batas Bawah Tiket Pesawat Sulitkan Maskapai Berkembang

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menilai adanya penetapan tarif batas bawah tiket pesawat membuat industri penerbangan dalam negeri sulit berkembang. Pasalnya, para pelaku di industri ini tidak memiliki fleksibilitas untuk menetapkan harga yang lebih murah guna agar bisa bersaing dengan pelaku lain.

Ketua BPKN, Ardiansyah Parman mengatakan, di tengah kebutuhan akan jasa angkutan udara yang semakin besar, konsumen kini dihadapkan pada tingginya harga tiket penerbangan. Hal ini salah satunya lantaran maskapai tidak bisa fleksibel dalam menentukan harga lantaran terbentur kebijakan tarif batas bawah.

 

 

 

"Akses masyarakat terhadap angkutan udara, sebenarnya pengaturannya tidak hanya sebatas menetapkan tarif batas bawah dan atas. Tarif batas bawah ini menyebabkan pelaku usaha tidak memiliki fleksibilitas ketika punya kesempatan untuk memberikan harga yang lebih rendah. Kalau dia berikan harga lebih rendah, dia akan melanggar aturan," ujar dia saat berbincang denganLiputan6.com di Jakarta, Selasa (9/4/2019).

Menurut dia, sebenarnya pada saat-saat tertentu maskapai bisa saja memberikan harga tiket  pesawat yang lebih murah kepada konsumen. Contohnya, saat harus mengirimkan pesawatnya dalam kondisi kosong ke tempat lain.

"Sebenarnya ada pelaku usaha sebenarnya dia kirim pesawatnya dari Jakarta ke Ujung Pandang karena harus digunakan besok pagi hari, ini harus berangkat tengah malam. Ketika dia menawarkan harga yang rendah dan konsumen harus berkorban dengan berangkat tengah malam kan bisa saja," kata dia.

Oleh sebab itu, lanjut Ardiansyah, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebaiknya mempertimbangkan kembali kebijakan tarif batas bawah tiket pesawat.

Dengan demikian, maskapai tetap memiliki ruang untuk menentukan harga tiketnya tanpa mengurangi faktor keamanan dan keselamatan penumpang.

‎"Masalah (tarif batas bawah) dicabut atau tidak, itu kewenangan pemerintah. Tetapi intinya, untuk kepentingan nasional, untuk pertumbuhan jasa penerbangan di Indonesia, harus dipikirkan kebijakan yang out of the box agar kita bisa bersaing. Jangan sampai konsumennya sulit, nanti pelaku usaha tidak (berkembang). Kita kan masih membutuhkan jasa transportasi yang mudah, yang aksesnya murah, tetapi tidak ada tawar menawar mengenai keamanan dan keselamatan," tandas dia.

 

Tonton Video Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya