Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi belanja negara untuk subsidi energi hingga April 2019 mencapai sebesar Rp 30,9 triliun, atau 19,3 persen dari pagu APBN 2019. Realisasi ini turun 21,3 persen dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 39,2 triliun.
"Subsidi energi kita realisanya lebih rendah atau alami penurunan 21,3 persen," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kamis (16/5).
Sementara itu, rincian untuk subsidi energi di akhir Maret 2019 untuk subsidi BBM dan LPG sebesar Rp 17,4 triliun atau setara dengan 18,43 dari pagu APBN 2019. Posisi ini pun mengalami penurunan 29,1 persen apabila dibandingan periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp 26 triliun.
Advertisement
Baca Juga
Kemudian untuk subsidi listrik tercatat sebesar Rp 12,4 triliun atau sebesar 20,9 persen dari pagu APBN 2019. Namun posisi subsidi listrik ini juga alami penurunan sebesar 5,7 persen dari posisi tahun lalu yang mencapai Rp 13,2 triliun.
"Sedangkan subsidi listirk dan BBM juga turun, yang non energi justru alami kenaikan," pungkasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Penyaluran Subsidi Elpiji Lebih Ampuh Jika Lewat Kartu
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan yakin penyaluran subsidi Elpiji langsung ke masyarakat melalui kartu akan ampuh mengurangi penyimpangan.
Jonan mengatakan, pernah diusulkan upaya untuk mengurangi peyimpangan penyaluran Elpiji berubsidi dilakukan dengan penyaluran Elpiji bersubsidi secara tertutup. Namun cara tersebut ternyata tidak efektif. Dia pun mengusulkan agar penyaluran Elpiji bersubidi melalui sistem kartu.
"Waktu saya baru jadi menteri ada rencana subsidi tertutup saya bilang percuma, kalau mau di kartu," kata Jonan, saat rapat dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (19/3/2019).
Untuk menerapkan penyaluran subsidi secara langsung, perlu koordinasi dengan Kementerian lain. Dia pun mengusulkan diterapkan pada tahun depan.
"Mudah-mudahan ini menyangkut kementerian lain. Kami mengusulkan anggaran tahun depan sistem pengawasan Elpiji tepat sasaran," tuturnya.
Jonan mengungkapkan, penyaluran subsidi Elpiji paling tepat lakukan lewat kartu, kemudian dibagikan ke masyarakat tidak mampu. Sehingga penerima subsidi tepat sasaran.
"Yang paling pas dimasukan ke kartu dimiliki saudara kita tidak mampu. Sehingga dia bisa mampu beli sehingga kita Yang tidak layak menerima membeli dengan harga market," tandasnya.
Advertisement
Harga Mahal Jadi Tantangan Pengembangan Energi Terbarukan
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi, mengungkapkan sejumlah hal yang mesti dilakukan agar Indonesia dapat mencapai target bauran energi 23 persen di 2025. Menurut dia saat ini yang menjadi tantangan bagi pengembangan EBT yakni harga yang masih mahal.
"Jadi permasalahan kita adalah harga. Kalau harga sudah murah, tidak perlu ada lagi tidak perlu lagi harga khusus, tidak perlu lagi subsidi, insentif, dan sebagainya kita akan beli sendiri. Seperti lampu LED sekarang ini. Kemarin saya lihat yang 3 Watt hanya Rp 6.000 sekarang, dulu ratusan ribu rupiah," kata dia dalam pembukaan pameran 'The 7th Edition of INAGREENTECH 2019', JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Kamis (4/4/2019).
Kebijakan energi nasional telah mengamanatkan bahwa perhitungan tarif listrik EBT menggunakan skema fit in tariff. "Harga EBT diamanatkan oleh kebijakan energi Nasional bahwa dia adalah fit in tariff. Fit in tariff berarti itu harus di-compare dengan harga energi setempat," urai dia.
Sebagai contoh, dia mengatakan bahwa perhitungan tarif EBT di daerah Papua, tidak bisa dibandingkan dengan harga di Pulau Jawa. Sebab tentu harganya menjadi tidak kompetitif.
"Misalnya di Papua harga energi di sana mahal sekali. Harga EBT harus di-compete dengan harga di sana bukan dengan harga di pulau Jawa," jelas dia.
Untuk daerah-daerah yang harga EBT-nya masih lebih mahal dari harga energi konvensional, diperlukan dukungan pemerintah berupa pemberian subsidi. "EBT diamanatkan diberikan subsidi selama dia masih lebih mahal dari harga dari pada energi konvensional," ujar dia.
"Itu kalau dilaksanakan, itulah yang membuat kita menetapkan target 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen minimal di tahun 2050. Tanpa itu kita tidak mungkin mencapai 23 persen," tandasnya.