Sri Mulyani Paparkan Aturan Devisa Hasil Ekspor di DPR

Pemerintah telah bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) mengenai sistem informasi terkait ekspor dalam negeri.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Jul 2019, 15:45 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2019, 15:45 WIB
Rapat Kerja
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Gubernur BI Perry Warjiyo dan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senin (17/6/2019). Raker itu membahas mengenai asumsi dasar makro dalam RAPBN 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mulai memberlakukan sanksi untuk pengusaha yang tidak melaporkan dan memasukkan devisa hasil ekspor (DHE) ke dalam sistem keuangan Indonesia.

Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 98/PMK.04/2019 yang ditandatangani per 1 Juli 2019.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, PMK tersebut merupakan keberlanjutan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019, dengan DHE SDA wajib dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia. Adapun DHE SDA tersebut berasal dari hasil barang ekspor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.

"PMK merupakan kelanjutan keharusan eksportir melakulan repatriasi devisa ke dalam negeri. Dari sisi sanksi tentu (Ditjen) Bea Cukai yang bisa melakukan apakah dalam bentuk penundaan ekspor dan pembayaran denda dalam peraturan pemerintah mengenai DHE," ujar Sri Mulyani saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (4/7/2019).

Sri Mulyani menyampaikan dalam implementasinya pemerintah telah bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) mengenai sistem informasi terkait ekspor dalam negeri. Jadi, pemerintah bisa memonitor arus barang sekaligus dana atau devisa hasil ekspor yang didapatkan oleh perusahaan Indonesia.

"Dalam konteks inilah kita bisa mengidentifikasi nama perusahaan dan jumlah ekspor dan berapa jumlah devisa yang mereka peroleh," kata dia.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 98/PMK.04/2019 tentang Tarif atas Sanksi Administratif Berupa Denda dan Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, dan Penyetoran Sanksi Administratif Berupa Denda atas Pelanggaran Ketentuan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.

Dalam PMK ini disebutkan, setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa.  Khusus devisa berupa DHE SDA, wajib dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia.

"DHE SDA sebagaimana dimaksud  berasal dari hasil barang ekspor seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan,dan perikanan," bunyi Pasal 3 ayat (2) PMK ini.

Menurut PMK ini, dalam hal eksportir tidak melakukan penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, eksportir dikenakan denda sebesar 0,5 persen dari nilai DHE SDA yang belum ditempatkan ke dalam Rekening Khusus DHE SDA.

Sementara dalam hal eksportir menggunakan DHE SDA pada Rekening khusus DHE SDA untuk pembayaran di luar ketentuan sebagaimana dimaksud, eksportir dikenakan denda sebesar 0,25 persen dari nilai devisa hasil eksporSDA yang digunakan untuk pembayaran di luar ketentuan.

"Terhadap eksportir yang tidak membuat escrow account sebagaimana dimaksud atau tidak memindahkan escrow account di luar negeri pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing sebagaimana dimaksud , eksportir dikenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang ekspor," bunyi Pasal 8 ayat 3 PMK ini.

Denda sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, disetor ke Kas Negara sebagai pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari hak negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Menurut PMK ini, Kepala Kantor Pabean melakukan perhitungan denda sebagaimana dimaksud dengan mendasarkan pada hasil pengawasan Bank Indonesia yang menunjukkan adanya pelanggaran. terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Kemenkeu Gandeng BI Buat Integrasikan Data Informasi Devisa

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso saat menggelar jumpa pers tutup tahun 2018 di Gedung OJK, Jakarta, Rabu (19/12). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyepakati kerja sama pemanfaatan dan pemantauan terintegrasi atas data dan informasi devisa. Hal ini terkait kegiatan ekspor dan impor melalui Sistem Informasi Monitoring Devisa terIntegrasi Seketika (SiMoDIS).

Kesepakatan ditandatangani oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Muyani Indrawati. Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso mengatakan, kesepakatan ini secara umum merupakan pemanfaatkan data informasi devisa terkait kegiatan ekspor dan impor. Jadi pemerintah nantinya dapat memperoleh data secara akurat dan terkini.

"MoU nya adalah sharing sistem informasi tentang hasil ekspor maupun data data impor ini supaya real time. Jadi semua umum, data ekspor impor antara BI dan detailnya tanya Bu Menteri dan Pak Gubernur," ujar Wimboh usai menghadiri penandatanganan MoU di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Senin 7 Januari 2019.

Sejak awal diimplementasikan pada 2012, kepatuhan eksportir dalam memenuhi ketentuan penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) terus membaik dan mencapai 98 persen pada November 2018.

Kinerja positif kepatuhan eksportir dimaksud tidak terlepas dari sinergi kebijakan yang kuat antara BI dan Kemenkeu, serta dukungan perbankan dan eksportir. 

SiMoDIS menjadi salah satu langkah penguatan kebijakan DHE yang mengintegrasikan informasi ekspor dan impor, dan menyinergikan kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia terkait ekspor dan impor secara seketika. 

Secara teknis, SiMoDIS akan mengintegrasikan aliran dokumen, aliran barang dan aliran uang melalui dokumen ekspor dan impor dari Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dan data NPWP dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, dengan data incoming ekspor dan outgoingimpor dari financial transaction messaging system dan bank devisa. 

 

 

BI: Rekening Khusus Simpanan DHE Masih Tunggu Peraturan Presiden

BI Tahan Suku Bunga Acuan
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menggelar konferensi pers di Jakarta, Kamis (17/1). Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Januari 2019 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 6 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) akan segera merampungkan pembuatan rekening khusus simpanan (RKS) devisa hasil ekspor (DHE) untuk eksportir Sumber Daya Alam (SDA).

Tujuan pembuatan RKS ini agar para eksportir dapat menikmati insentif penyimpanan devisa hasil ekspor (DHE) yang dicanangkan oleh bank sentral.

"Peraturan Bank Indonesia (PBI) sudah siap, kami juga sudah bicara dengan perbankan dan perbankan juga siap mendukung kebijakan-kebijakan mengenai bagaimana kita lebih mengoptimalkan DHE bagi kemajuan ekonomi kita, " kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, saat ditemui di Kompleks Masjid BI, Jakarta, Jumat, 25 Januari 2019.

Perry mengatakan, terkait dengan PBI rekening khusus simpanan, pihaknya sudah selesai merampungkannya. Namun, dalam pelaksanaannya masih harus menunggu Peraturan Presiden (PP).

"Begitu PP-nya siap kami keluarkan. Dalam waktu dekat, karena itu satu paket PP keluar PBI keluar. Kami udah koordinasi dari awal, timing-nya bersama. Itu segera bisa kita terapkan," imbuhnya.

Seperti diketahui, dengan adanya RSK ini, ekportir, perbankan dan kantor pelayanan pajak akan dimudahkan dalam menentukan insentif yang diperoleh ketika melakukan penyimpanan DHE.

Aturan ini pun diharapkan akan diterima oleh semua pihak terutama pengusaha. Adapun besaran insentif yang diberikan kepada eksportir jika mengkonversikan DHE valas ke rupiah jika disimpan 1 bulan akan mendapat pajak sebesar 7,5 persen, 3 bulan mendapat pajak 5 persen, 6 bulan tidak dikenakan pajak. 

Namun, jika disimpan dalam bentuk valas 1 bulan dikenakan pajak 10 persen, 3 bulan sebesar 7,5 persen, 6 bulan sebesar 2,5 persen dan lebih dari 6 bulan tidak dikenakan pajak.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya