Liputan6.com, Jakarta - Masalah indeks kualitas udara atau air quality index (AQI) Jakarta yang berada pada titik mengkhawatirkan sempat ramai diperbincangkan. Hal ini berdasarkan data AirVisual, peringkat kualitas udara Jakarta berada di urutan ketiga dunia berdasar.
Menanggapi masalah tersebut, Executive Vice President (EVP) Corporate Communication PT PLN (Persero) I Made Suprateka mengatakan, keberadaan pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bukan penyebab buruknya kualitas udara di DKI Jakarta akhir-akhir ini. Ini mengingat lokasi PLTU dan PLTGU Muara Karang dan juga PLTGU Priok terletak di bagian utara Jakarta. Demikian pula PLTU Batubara Lontar ada di Provinsi Banten.
Advertisement
Baca Juga
"Perihal radius sebaran dampak emisi PLTU batubara SOX atau NOX terjauh adalah 30 km, dengan asumsi adanya emisi gas buangnya terdekat Batubara Lontar Banten, yang jaraknya 70 km dari pusat kota Jakarta," ujar dia di Jakarta, Sabtu (13/7/2019).
Saat ini, lanjut Made, sejumlah PLTU yang pembangunannya dilakukan baik oleh PLN ataupun oleh para perusahaan sebagai IPP (Independent Power Producer), kebanyakan sudah menggunakan teknologi berbasis Super Ultra Critical Represitator, di mana debu yang keluar ditangkap dan dapat diendapkan, sehingga dapat dicegah penyebarannya.
Dengan demikian tidak ada lagi sebaran debu, karena volumenya sangat minim hanya 2 persen dari produksi energi batubara dari operasional PLTU. Dari batubara yang dikonsumsi, maksimal hanya 20 persen yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Sementara dari 20 persen PLTU tersebut, hanya 2 persen yang berpotensi menghasilkan polusi.
“Saat ini sudah berkembang teknologi penangkap debu (Super Ultra Critical Represitator). Hal tersebut dapat disaksikan juga pada Shanghai Energy Power Plant, di mana pembangkit listrik di Shanghai tersebut, tingkat kebersihannya setara atau sama dengan rumah sakit. Ada pun suplai kebutuhan listrik di Indonesia kebanyakan berasal dari PLTU, mengingat belum dapat terpenuhinya kebutuhan energi di lokasi tersebut yang berasal dari EBT,” jelas Made.
Indeks Kualitas Udara KLHK
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), indeks standar kualitas udara yang dipergunakan secara resmi di Indonesia saat ini adalah Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU), sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP 45/MENLH/1997 Tentang Indeks Standar Pencemar Udara.
Indeks standar pencemar udara adalah angka yang tidak mempunyai satuan, yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu, didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya. Indeks standar pencemar udara ditetapkan dengan cara mengubah kadar pencemar udara yang terukur menjadi suatu angka yang tidak berdimensi.
Data indeks standar pencemar udara diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantauan kualitas udara ambien otomatis. Sedangkan parameter indeks standar pencemar udara meliputi partikulat (PM10); karbondioksida (CO); sulfur dioksida (SO2); nitrogen dioksida (NO2); serta ozon (O3).
Adapun perhitungan dan pelaporan serta informasi indeks standar pencemar udara ditetapkan oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, yakni berdasar Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997.
Advertisement
Greenpeace Catat Sumber Polusi Jakarta Sejak 2012, Minim Upaya Mengurangi
Organisasi lingkungan non-pemerintah (NGO) Greenpeace mengkritik Pemprov DKI Jakarta terkait ketiadaan data inventarisasi emisi udara di wilayahnya. Hal ini berakibat tingginya polusi Jakarta.
Menurut Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Bondan Andriyanu, data inventarisasi emisi udara sangat dibutuhkan guna menjadi basis data dalam menanggulangi bencana polutanudara di Jakarta.
Bondan menyampaikan, di tahun 2012, ada kajian mengenai inventarisasi emisi udara yang dipublikasikan ulang oleh Inisatif Bersihkan Udara Koalisi Sementara (Ibukota) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) pada Maret lalu.
Dalam data tersebut, kata Bondan, transportasi merupakan penyumbang utama emisi udara di Jakarta. Sektor transportasi tersebut termasuk kendaraan bermotor, kereta api, dan pesawat udara.
"Data 2012 menunjukkan 46 persen kontribusinya transportasi. Kemudian 28 persen industri. Kemudian ada juga open waste burning lima persen. Artinya itu sebagai dasar, oke penyebabnya itu, kemudian kebijakan apa yang diambil untuk menurunkan itu ke depannya," kata Bondan saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Sabtu (6/7/2019).
Bondan menyayangkan ketiadaan data-data seperti itu di tahun-tahun setelahnya. Sejak 2012 hingga 2018 data inventarisasi emisi itu tidak ada.
Baru pada 2019, kata Bondan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis data mengenai sumber terbesar polutan udara di Jakarta, yakni dari sektor transportasi yang mencapai 70 persen.
Itu pun hanya dari transportasi saja yang disebutkan. Sedangkan sisanya yang mencapai 30 persen tidak dituliskan dalam siaran pers KLHK bernomor SP. 101/HUMAS/PP/HMS.3/3/2019 itu.
"Lucunya di tahun 2019 kemarin, KLHK ngakuin bahwa ternyata transportasi menyumbang 70 persen. Artinya meningkatkan dong jauh," kata Bondan.
Bondan menyarankan supaya kajian mengenai inventarisasi emisi itu dilakukan secara berkala. Dan tak kalah penting, hasil riset itu bisa diakses oleh publik supaya publik bisa terlibat mengawasi.
"(Kalau seperti itu) Artinya kan langsung kita bisa tarik nih kebijakannya apa yang diambil dan menurunkan (emisi) apa," katanya.
"Kita tidak akan selesai berdebat kalau baseline datanya gak ada. Sumber datanya dari mana," Bondan menambahkan.