Ada Kemarau Panjang, Produksi Beras Diprediksi Turun

Terdapat tujuh provinsi yang terdampak bencana kekeringan akibat musim kemarau.

oleh Septian Deny diperbarui 31 Agu 2019, 13:45 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2019, 13:45 WIB
Musim Kemarau, Harga Gabah Petani Alami Kenaikan
Petani memisahkan bulir padi dari tangkainya saat panen di sawah yang terletak di belakang PLTU Labuan, Pandeglang, Banten, Minggu (4/8/2019). Kurangnya pasokan beras dari petani akibat musim kemarau menyebabkan harga gabah naik. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Panjangnya musim kemarau di tahun ini memberikan dampak berkurangnya luas lahan panen. Akibatnya, hasil produksi pertanian merosot. Jumlah produksi gabah atau beras pun diprediksi anjlok.

Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun telah memperingatkan pemerintah agar mewaspadai gagal panen hingga Desember mendatang. Di sisi lain, ancaman fuso ditahun 2019 masih tinggi jika dibandingkan tahun sebelumnya.

"Potensi luas panen tahun ini memang lebih rendah dari 2018, indikasinya seperti itu," ungkap Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS, Hermanto di Jakarta, Sabtu (31/8/2019).

 

Dengan data yang ada, dijelaskan, pemerintah perlu mewaspadai potensi gagal panen produksi pertanian untuk kisaran waktu sampai dengan Desember mendatang. BPS mengingatkan, ancaman turunnya produksi masih terjadi, mengingat belum berakhirnya musim kemarau.

Namun, dari pengamatan yang dilakukan melalui Kerangka Sampel Area (KSA), terdeteksi masih ada potensi pertanaman sampai Oktober, khususnya di daerah-daerah yang memiliki irigasi yang baik.

"Fuso juga lebih tinggi dari tahun lalu. Makanya, harus hati-hati di sisa bulan-bulan kedepan sampai Desember," dia mengingatkan.

Sebelumnya, BPS menyebut luas lahan baku sawah terus menurun. Menurut data luas lahan yang didapatkan dari Kerangka Sampel Area (KSA) menggunakan data hasil citra satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi Geospasial (BIG), ada penurunan. Pada 2018 luas lahan ada 7,1 juta hektare. Sedang pada 2017 masih 7,75 juta hektare.

Menguatkan data BPS, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan terdapat tujuh provinsi yang terdampak bencana kekeringan akibat musim kemarau, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT. Empat kabupaten berstatus tanggap darurat, dan 32 kabupaten/kota berstatus siaga darurat.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Siapkan Sistem Pengairan

irigasi dana desa
irigasi di Dusun Lebak, Desa Sokobanah Dejeh, Kabupaten Sampang ini ambrol padahal be,um genap tiga dibangun.

Anggota Komisi IV DPR RI, Darori Wonodipuro membenarkan data yang disampaikan BPS. Dia mengatakan, musim kemarau saat ini berdampak pada menurunnya produksi pertanian.

Dikatakan, siklus musim kemarau harusnya dijadikan pengalaman dan pembelajaran bagi pemerintah untuk menyiapkan sistem pengairan yang jauh lebih baik.Menurutnya, pemerintah kurang memperhatikan pemeliharaan waduk-waduk dan saluran irigasi, sebagai penunjang utama dalam sektor pertanian.

"Ketika kita butuh air, justru kita tidak punya air. Maka saya usulkan kepada pemerintah, selain membangun waduk baru, waduk lama juga dipelihara. Sehingga bisa digunakan masyarakat di musim kemarau," katanya, mengingatkan, di kesempatan berbeda.

Di samping itu, dia juga meminta kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan program subsidi kepada para petani. Menurutnya, selain subsidi, jaminan atau kepastian harga atas hasil panen menjadi suatu yang penting, karena terkait dengan kesejahteraan dan penghasilan para petani.

"Saya usulkan bagaimana subsidi pasca panen, jangan sekarang hanya subsidi kasih traktor, pupuk. Kalau subsidi pasca panen, pasti petani berlomba-lomba untuk tingkatkan hasil produksi. Misalkan petani jual ke masyarakat dengan harga Rp 7 ribu, pemerintah harusnya bisa ang juga diytbeli lebih dari itu, jadi petani untung," katanya.

Darori menegaskan, pemerintah harus memberikan perhatian lebih ke sektor pertanian. Jangan sampai para petani yang terus menerus dirugikan.

 


Stok Beras di Bulog

(Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Stok beras (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Adanya ancaman gagal panen dan kemarau panjang juga ditanggapi Guru Besar IPB, Dwi Andreas. Dia mengakui, stok beras di Bulog yang ada sekitar 2,3 juta ton itu penting sebagai cadangan. Akan tetapi, yang perlu dipertimbangkan adalah saat ini Bulog memiliki tugas untuk salurkan beras ke program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) melalui e-warung. Jika program tersebut sudah berjalan, maka stok di Bulog dipastikan berkurang.

"Kalau itu berjalan, artinya berkurang sekitar satu jutaan ton, artinya sisa sekitar 1,3 juta ton. Semoga tidak dipakai lagi untuk operasi pasar," kata Dwi Andreas. Diterangkannya, , minimal cadangan aman di Bulog sekitar 1,5 juta ton beras.

"Kalau stok dibawah satu juta ton itu artinya gawatlah. Amannya 1,5 juta ton sampai akhir tahun," tandasnya.Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar melakukan perhitungan yang tepat. Mengingat saat ini produksi pangan mengalami penurunan. "Karena awal tahun 2020 itu defisit kondisinya sampai Februari, bahkan (defisit) mulai Oktober 2019," tutur Dwi Andreas.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya