Driver Ojol Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan 100 Persen

Driver ojek online menyatakan keberatan terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100 persen.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 02 Sep 2019, 14:15 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2019, 14:15 WIB
20161003-Demo Ojek Online, Gojek-Jakarta
ojek online

Liputan6.com, Jakarta Rekomendasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menaikan presmi BPJS Kesehatan sebanyak dua kali lipat memunculkan protes di kalangan masyarakat, salah satunya ojek online. Mereka yang bekerja di sektor informal pun mengaku keberatan.

Para ojek online (ojol) turut menjadi pihak yang merasakan dampaknya. Pihak Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) menyebut kenaikan BPJS Kesehatan memberatkan karena para ojol tak berpenghasilan tetap.

"Kenaikan dari nilai premi BPJS hingga mencapai 100 persen atau dua kali lipat ini memberatkan juga buat kami, khususnya para driver ojek online yang penghasilannya itu cuman berdasarkan dari order kami, dari penumpang, bukan penghasilan tetap," ujar Ketua Garda Indonesia, Igun Wicaksono, kepada Liputan6.com, Senin (2/9/2019).

Igun berharap pemerintah mau mempertimbangkan ulang kenaikan yang sampai 100 persen sembari mengingat kemampuan membayar para driver ojol di lapangan. Pada skema kenaikan 100 persen ini, harga premi termurah adalah Rp 42 ribu per bulan (iuran kelas mandiri III).

"Kami berharap pemerintah bisa mengevaluasi kenaikan BPJS Kesehatan itu tidak sampai 100 persen, karena memikirkan juga kemampuan dari kami para pekerja di lapangan," ujar Igun.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Perbaikan Kualitas

Iuran BPJS Kesehatan Naik
Petugas BPJS Kesehatan melayani warga di kawasan Matraman, Jakarta, Rabu (28/8/2019). Sedangkan, peserta kelas mandiri III dinaikkan dari iuran awal sebesar Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan. Hal itu dilakukan agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit hingga 2021. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Igun pun mengaku tidak keberatan dengan kenaikan presmi BPJS Kesehatan, asalkan tidak 100 persen. Faktor lain yang Igun sorot adalah supaya kenaikan premi BPJS Kesehatan bisa dibarengi perbaikan kualitas.

"Kenaikan silahkan tetapi jangan sampai 100 persen, dan kenaikan juga kita harapkan ada perbaikan pelayanan dari para penyedia jaminan sosial," pungkasnya.


Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, 150 Ribu Buruh Bakal Gelar Aksi

Ilustrasi BPJS Kesehatan
Ilustrasi BPJS Kesehatan

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak rencana kenaikkan iuran BPJS Kesehatan. Hal ini, karena, kenaikan iuran tersebut akan memberatkan masyarakat dan bukan solusi untuk menyelesaikan defisit.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan defisit anggaran BPJS Kesehatan adalah bukti ketidakmampuan managemen BPJS dalam mengelola penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Oleh karena itu, tidak seharusnya kegagalan direksi itu dibebankan kepada rakyat dengan menaikkan iuran.

Oleh karena itu, lanjut Iqbal, yang seharusnya dilakukan adalah menambah kepesertaan BPJS Kesehatan dan menaikkan besarnya iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibayarkan oleh pemerintah.

Selain itu, Pemerintah juga harus memastikan 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD (sesuai ketentuan yang diatur dalam UU Kesehatan) untuk anggaran kesehatan dialokasikan untuk BPJS Kesehatan.

"Cash flow anggaran juga harus diperhatikan. Termasuk sistem INA-CBG's dan kapitasi perlu dikaji kembali, sebab disitu banyak potensi kebocoran dan penyelewengan," tegas Iqbal dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (1/9/2019).

Selain itu, KSPI juga menegaskan kembali penolakannya terhadap revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang merugikan hak-hak buruh. Sebagaimana diketahui, pemerintah menginginkan ada perbaikan iklim investasi dengan cara merevisi beleid yang dianggap terlalu kaku serta tidak ramah investasi ini.

Menurut Iqbal, alih-alih melakukan perbaikan investasi, arah revisi adalah untuk menekan kesejahteraan buruh. Misalnya dengan adanya rencana untuk menurunkan nilai upah minimum, mengurangi pesangon, hingga membebaskan penggunaan outsourcing di semua lini produksi.

Oleh karena itu, kata dia, alasan para pelaku usaha dan pemerintah mendorong revisi UU Ketenagakerjaan dengan alasan untuk mendongkrak investasi adalah hal yang mengada-ngada.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya