Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengatakan, Indonesia masih jauh dari ancaman resesi.
Menurutnya, dengan ketahanan ekonomi yang masih kuat, Indonesia masih bisa bertahan di tengah perlambatan ekonomi global.
"Beberapa hari ini Rupiah bahkan menguat, jadi hemat saya justru karena ada endogen faktor di dalam negeri menurut saya itu itu terlalu mensimplifikasi bahwa kalau di luar katakanlah Turki resesi, Argentina, Afrika Selatan itu bukan sesuatu yang baru, kita bicara itu setahun yang lalu," tuturnya di Jakarta, Jumat (13/9/2019).
Advertisement
Baca Juga
Budimanta menjelaskan, ketahanan ekonomi Indonesia ditopang konsumsi rumah tangga yang signifikan. Hematnya, secara fundamental Indonesia masih terbilang jauh dari ancaman resesi.
"Secara market kita ini besar 260 juta penduduk kalau kita bicara konsumsi menggerakan ekonomi pdbnya sudah 55 persen, orang butuh belanja, butuh barang. Jadi yang disebut dengan capital outflow itu harus kita bagi apakah itu berbasih portfolio?" ujarnya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Menurut Bank Dunia
Seperti diketahui, menurut presentasi Bank Dunia bertajuk Global Economic Risks and Implications for Indonesia, RI tengah berada pada ancaman capital outlow (arus modal keluar) yang besar. Hal ini membawa Indonesia turut terkena ancaman dari resesi global.
"Sebagai, surat utang negara 10 tahun di atas 7 persen ada nggak negara tetangga yang bisa kasih di atas itu? Nggak ada kan?"
"Jadi mungkin masuk portfolio saham, mungkin ya, tapi saham-saham investor yang jangka panjang (bluechip) mereka nggak bakal keluar. Top 5 itu BUMN, ada BRI, Mandiri, untungnya triliunan. Jadi masih jauh dari ancaman resesi. Kita hargai bank dunia jika itu sebagai warning tapi kalau kita lihat secara fundamental kita memiliki ketahan ekonomi," lanjut dia.
Advertisement
KEIN: Pemerintah Jangan Remehkan Tanda Stagnasi Ekonomi Global
Pemerintah diminta agar mewaspadai dinamika ekonomi global yang menunjukan tanda-tanda stagnasi. Penyebab utama hal tersebut tak lain adalah perang dagang yang masih membuat cemas investor.
"Perang dagang dua negara besar tersebut berimbas pada perang teknologi dan nilai tukar. Ketegangan perdagangan dan teknologi lebih lanjut juga berpotensi mengurangi sentimen dan memperlambat investasi karena menghindari risiko yang mengekspos kerentanan keuangan," ujar Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta di Surabaya seperti ditulis Rabu (4/9/2019).
Arif membahas hal itu dalam Seminar Nasional Perkembangan Terkini Ekonomi Indonesia dan Tantangan ke Depan yang diselenggarakan Bank Indonesia dan Universitas Airlangga. Ia pun menyebut pertanda stagnasi lain yang tercermin pada hasil survei Wall Street Journal.
Dalam survei tersebut, peluang terjadinya krisis 2018 sebesar 13 persen dan pada tahun ini meningkat menjadi sebesar 25 persen. Probabilitas ini merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2012.
Pertanda lain yang Arif sorot adalah analisis Federal Reserve Bank of St Louis yang meyebut GDP riil Amerika Serikat 12 persen di bawah tren potensial output-nya. Itu menunjukkan missing recovery atau hilangnya kesempatan untuk pulih. Hal serupa pernah terjadi di Indonesia pasca krisis finansial global pada 2008.
"Tanda-tanda itu tidak boleh diabaikan begitu saja. Indonesia pernah mengalami missing recovery pada 2008 yang harusnya saat itu dimanfaatkan untuk industrialisasi dan ekspor, akan tapi pemerintah tidak melakukan itu sehingga pertumbuhan ekonomi yang kita dapatkan tidak dapat tumbuh tinggi," jelas Arif.
Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah harus mengambil cara-cara baru untuk mengelola stabilitas keuangan. Stabilitas yang dimaksud tidak hanya pada tataran sistem keuangan saja akan tetapi juga harus bertransmisi pada kehidupan masyarakat.
"Stabilitas seharusnya tidak berhenti hanya sampai sektor keuangan, tapi harus mampu bertransmisi sampai pada kehidupan masyarakat, terutama dalam mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan pendapatan yang juga stabil," kata Arif.