Waspada, Ini 4 Sumber Potensi Resesi bagi Indonesia

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China menyebabkan prospek ekonomi dunia melambat.

oleh Athika Rahma diperbarui 07 Nov 2019, 15:07 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2019, 15:07 WIB
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2017  Optimis Capai 5,3 Persen
Pemandangan gedung-gedung bertingkat di Ibukota Jakarta, Sabtu (14/1). Hal tersebut tercermin dari perbaikan harga komoditas di pasar global. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2019 mengalami pelambatan menjadi 5,02 persen yoy. Jumlah ini turun dari kuartal sebelumnya yang tumbuh sebesar 5,05 persen yoy.

Secara keseluruhan, hal ini menjadi gambaran resiko resesi ekonomi yang harus segera diantisipasi. Setidaknya, ada 4 sumber potensi resesi bagi Indonesia.

"Ada 4 sektor, yaitu sektor perdagangan, sektor energi, perlambatan ekonomi China, lonjakan utang pemerintah dan resiko sektor keuangan," ujar Abdul Manap Pulungan, Peneliti Indef dalam diskusi Antisipasi Resiko Resesi: Respon Kinerja Ekonomi Triwulan III 2019 di Jakarta, Kamis (07/11/2019).

 

Pertama, sektor perdagangan. Seperti yang diketahui, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China menyebabkan prospek ekonomi dunia melambat. Kedua negara menguasai sekitar 35 persen ekonomi dunia, sehingga mau tidak mau, negara berkembang seperti Indonesia akan terdampak.

Kedua, sektor energi. Harga minyak dunia jenis WTI dan Brent diprediksi menurun pada 2020. Tentu hal ini menyebabkan permintaan terhadap energi melambat.

"Selain itu, hal ini juga sangat erat kaitannya dengan faktor geopolitik," ujar Abdul.

Ketiga, perlambatan ekonomi China. Pada 2010, ekonomi China tumbuh 10 persen namun melambat hingga 6,2 persen pada 2019 (kuartal III) sedangkan PDB China sendiri mencakup 19 persen PDB dunia.

Keempat, lonjakan utang. Di beberapa negara, rasio utang pemerintah terhadap PDB semakin meningkat. Sedangkan di Indonesia rasionya masih di bawah 30 persen.

"Namun demikian, utang tidak akan aman kalau penerimaan pajaknya tidak sustainable," imbuhnya.

Dan kelima, resiko sektor keuangan, yang ditandai dengan mulai membanjirnya obligasi China dan potensi krisis AS. Yield obligasi jangka panjang lebih rendah dari yield obligasi jangka pendek. Ditambah, impeachment (resiko politik) Trump yang semakin nyata.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ada Ancaman Resesi Ekonomi, Pemindahan Ibu Kota Harus Dikaji Ulang

Siswa SD
Sejumlah siswa mencari lokasi calon ibu kota baru pada peta saat kegiatan belajar bertema wawasan Nusantara di SDN Menteng 02, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Kegiatan belajar wawasan Nusantara itu memberitahukan lokasi pemindahan ibu kota RI dari Jakarta ke Kalimantan Timur.(merdeka.com/Imam Buhori)

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan, saat ini global sedang menghadapi ancaman resesi. Fakta ini harus menjadi pertimbangan Pemerintah untuk mengkaji lagi rencana pemindahan ibu kota.

"Sekarang isunya 2020 kita menghadapi resesi global," ujar dia, di Jakarta, Rabu (11/9/2019).

Sejumlah negara, lanjut dia, bahkan sudah terkena imbas turunnya kinerja perekonomian global. Negara-negara tersebut, seperti Jepang, Turki, dan Argentina.

"Jepang sudah resesi. Turki sudah resesi. Argentina dua kali nggak bisa bayar hutang. 2020 Amerika Serikat banyak yang memprediksi akan terjadi resesi pertumbuhan ekonominya selama beberapa bulan terus turun," jelas dia.

Di tengah ancaman tersebut, dia menilai, langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah menjaga dan memperkuat struktur ekonomi nasional. Dengan demikian Indonesia dapat menghadapi turunnya ekonomi global dan ancaman resesi.

"Kita maksa pindah ibu kota. Kita harus tanya, Pak Rp 466 triliun. Kasih itu kredit usaha buat UMKM-UMKM karena kalau terjadi krisis ekonomi seperti tahun 1998, yang menjadi penopang itu adalah UMKM," tandasnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya