Derita Pengusaha Tekstil, Tenaga Kerja Mahal hingga Serbuan Asing

Pada September tahun ini Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat 9 hingga 10 pabrik sudah tutup produksi.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Des 2019, 12:20 WIB
Diterbitkan 11 Des 2019, 12:20 WIB
20160830- Industri Tekstil Nasional-Tangerang- Angga Yuniar
Pekerja merapikan gulungan kain di Pasar Cipadu, Tangerang, Selasa (30/8).Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin optimistis kinerja industri tekstil dan produk tekstil nasional akan gemilang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menyebutkan bahwa banyak pabrik tekstil Indonesia yang gulung tikar. Pada September tahun ini Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat 9 hingga 10 pabrik sudah tutup produksi.

Bahlil mengungkapkan, banyak faktor yang membuat pabrik tekstil tidak mampu bertahan. Salah satunya adalah serbuan produk impor. Selain itu, faktor upah juga menjadi salah satu isu penting di industri ini.

"Yang pertama tenaga kerja, upah, upah itu sudah mulai naik. Kedua penetrasi impor tinggi,” kata dia, di kantornya, Jakarta, Rabu (11/12/2019).

Selain itu, HPP (harga pokok produksi) dalam negeri cukup tinggi sebab bahan baku masih mahal. “Kan memang agak mahal karena mesin-mesin kita agak tua perlu peremajaan," ujarnya.

Namun Bahlil mengungkapkan pihaknya masih menunggu data angka pasti dari asosiasi tekstil soal jumlah pabrik yang sudah tutup hingga kini.

"Belum, kita belum punya data, kita nanti data teknisnya saya lagi minta teman-teman API dan APSyFI (Asosiasi Produsen Serat Sintesis dan Benang Filamen Indonesia) untuk melaporkan di hari Rabu. Kami akan tindak lanjuti di Rabu," ujarnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Masalah Lain

Pekerja Pabrik Tekstil
Pekerja Pabrik Tekstil. Dok Kemenperin

Dalam kesempatan serupa, Ketua Umum APSyFI Ravi Shankar menyebutkan ada beberapa faktor yang membuat tekstil Indonesia kurang kompetitif dan kalah di pasar sendiri.

"Kita sudah sampaikan beberapa permasalahan yang membuat kita tidak kompetitif, masalah gas, masalah PLN, masalah aturan perpajakan, masalah aturan kepabeanan, lingkungan," ungkapnya.

Oleh karena itu dia meminta pemerintah dapat segera mengharmonisasikan kebijakan antar kementerian dan lembaga terkait.

"Kadang-kadang kepentingan ini ada beberapa hal yang perlu disinkronisasikan. Kita harap BKPM bisa sinkronkan, harmonisasi regulasi, seperti itu," tutupnya.

Reporter : Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya