Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar Rupiah masih melanjutkan tren positifnya terhadap Dolar AS hingga Senin sore (20/4). Dikutip dari Bloomberg, mata uang garuda meroket hingga 52 poin ke level Rp 15.412 per USD.
Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengatakan, faktor eksternal masih menjadi dalang utama tren positif penguatan nilai tukar Rupiah ditengah pandemi virus covid-19, setelah lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) Global Rating mempertahankan Sovereign Credit Rating atau peringkat utang Indonesia tetap BBB/A-2.
Baca Juga
Dalam laporannya S&P juga menurunkan prospek (outlook) utang Indonesia dari sebelumnya stabil menjadi negatif. Setelah melihat adanya peningkatan risiko seperti posisi eksternal Indonesia yang mulai melemah akibat melebarnya budget defisit yang ditetapkan menjadi 5,07 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Advertisement
"Namun, penurunan rating tersebut masih cukup bagus buat pasar obligasi dalam negeri sehingga arus modal kembali masuk ke pasar valas dan obligasi. Ini mengindikasikan bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup bagus ditengah wabah corona," kata Ibrahim melalui sambungan telepon, Senin (20/4/2020).
Selain itu, adanya rencana pembukaan lockdown atau karantina wilayah yang diusulkan Presiden Donald Trump demi perbaikan ekonomi AS ikut memberi sentimen positif terhadap nilai tukar rupiah di pasar spot. Bahkan mata uang garuda diprediksi kembali menguat di level Rp 15.320 hingga Rp 15.500 per USD pada Selasa (21/4).
Mengingat kondisi fundamental ekonomi Indonesia terbilang cukup gemilang di tengah ancaman virus asal kota Wuhan. Setelah pemerintah menggelontorkan berbagai paket stimulus untuk menggairahkan ekonomi nasional.
S&P
Sebelumnya, Lembaga pemeringkat kredit, Standard & Poor’s Global Ratings (S&P) mempertahankan Sovereign Credit Rating Republik Indonesia (RI) pada BBB (investment grade). Namun, disaat yang sama S&P merevisi outlook menjadi negatif dari sebelumnya stabil.
Dalam keterangan tertulis Kementerian Keuangan, Sabtu (18/4), S&P menyebutkan bahwa mempertahankan peringkat kredit Indonesia ke kelompok BBB mencerminkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat. Akibat kebijakan pemerintah yang adaptif untuk menjaga stabilitas ekonomi di kondisi sulit serta diiringi sikap tanggap untuk penanganan masalah kesehatan saat wabah corona di Tanah Air.
Terkait labeling outlook negatif, S&P mengkhawatirkan potensi lonjakan utang luar negeri untuk kebutuhan pembiayaan berbagai paket stimulus ekonomi yang justru dapat menjadi boomerang bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Sebab, dalam upaya penanganan pandemi covid-19, pemerintah bersama otoritas terkait telah mengambil langkah yang bersifat luar biasa (extraordinary actions) secara cepat.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona. Aturan ini dimaksudkan untuk menjaga akuntabilitas dan memberikan landasan hukum dalam upaya memerangi wabah virus corona.
Di sisi moneter, dalam mendukung pelaksanaan Perpu tersebut Bank Indonesia (BI) juga melakukan tindakan bersifat luar biasa, yakni dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana sebagai backstop/last resort untuk membantu pemerintah membiayai penanganan dampak covid-19.
Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Pemerintah dengan BI No. 190/KMK.08/2020 dan No. 22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tentang skema dan mekanisme koordinasi pembelian surat utang negara atau surat berharga syariah negara di pasar perdana.
Alhasil S&P mengungkapkan langkah yang diambil oleh Pemerintah dan BI tersebut sejalan dengan langkah di negara maju yang juga menerbitkan paket stimulus dan kebijakan moneter dengan jumlah yang cukup signifikan dan berbagai skema terobosan yang nyata sebagai upaya mengurangi dan menanggulangi dampak pandemi covid-19.
Oleh karenanya untuk menjaga tata kelola yang baik dan akuntabillitas kebijakan publik atas pelaksanaan Perpu, Pemerintah berkoordinasi bersama BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan dengan selalu mengedepankan asas kehati-hatian dalam mengelola keuangan negara. Pemerintah dan otoritas terkait juga berkomitmen untuk tetap menjaga integritas dan kredibilitas berbagai keputusan yang diambil.
Sulaeman
Merdeka.com
Advertisement