Liputan6.com, Jakarta - Wacana penyederhanaan nilai rupiah atau redenominasi bukanlah wacana baru di Indonesia. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah berulang kali menyuarakan redenominasi. Terbaru, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggulirkan kembali dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan tahun 2020-2024.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, Indonesia membutuhkan setidaknya 10 tahun untuk menerapkan redenominasi secara optimal.
Baca Juga
“Saya kira bertahap menurut pengalaman saya baca dari planning Bank Indonesia, prosesnya bisa hampir 10 tahun. Selama 2 tahun untuk sosialisasi kepada masyarakat, 2 tahun masa transisi, 2 tahun tahapan penarikan uang lama, 2 tahun tahap pemantapan, 2 tahun berikutnya pemantauan, dan itu tidak mudah,” kata Tauhid kepada Liputan6.com, Minggu (19/7/2020).
Advertisement
Selain dibutuhkan perencanaan yang matang dalam sektor keuangan dan perbankan untuk menerapkan redenominasi. Ia menyebut sektor riil akan terdampak lebih berat, karena menyangkut aktivitas ekonomi di level masyarakat, yaitu harus terpenuhinya pecahan mata uang baru.
“Katakanlah pecahan yang Rp 10.000 menjadi Rp 10 jika tidak ditemukan maka harus disiapkan, jadi secara fisik Bank Indonesia harus mencetak uang baru dengan nominal yang baru, kalau masih sama dengan mata uang yang lama Rp 10.000 padahal nilai sebenarnya Rp 100.000, maka orang tidak akan percaya,” ujarnya.
Maka konsekuensinya Bank Indonesia harus mencetak uang untuk redenominasi. Jika tidak begitu akan terjadi kesalahpahaman dan merugikan masyarakat.
“Contoh kita punya Rp 1.000 nilainya menjadi Rp 1 juta, itu tidak mungkin orang akan memandang Rp 1.000 sebagai jumlah nominal Rp 1 juta, melainkan memandang nilai yang sama yakni Rp 1.000,” ujarnya.
Demikian, penting sekali sosialisasi kepada masyarakat. Jika tidak, akan menimbulkan pergolakan dan nilai mata uang mungkin akan berkurang. Untuk besaran mata uang puluhan dan ratusan ribu tidak akan terlalu terasa. Namun, untuk besaran jutaan maka masyarakat akan kebingungan, seolah-olah uangnya hilang.
“Oleh karena itu persiapan redenominasi harus matang di sektor riil, Saya kira kalau itu bisa disiapkan baru bisa berjalan dengan efektif,” pungkasnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Kemenkeu Gulirkan Kembali Wacana Redenominasi Rupiah
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memotong jumlah nol dalam rupiah atau redenominasi. Penyederhanaaan rupiah ini tersebut akan tertuang melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi).
Langkah redenominasi tersebut merupakan satu dari 19 regulasi dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan tahun 2020-2024. Renstra ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77 tahun 2020.
Urgensi pembentukan RUU Redenominasi tersebut berkaitan dengan penciptaan efisiensi perekonomian, berupa percepatan waktu transaksi serta berkurangnya risiko human error, efisiensi pencantuman harga barang dan jasa karena sederhananya jumlah dan digit rupiah.
"Menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit rupiah," demikian dikutip liputan6.com dari dokumen PMK 77/2020, Jumat (10/7/2020).
Dalam matriks 19 regulasi yang termasuk dalam Renstra Kemenkeu 2020-2024, Kemenkeu menjelaskan bahwa RUU Redenominasi akan berada di bawah tanggung jawab Direktorat Jenderal Pembendaharaan (DJPb) dan akan dibantu dengan Sekretariat Jenderal (Setjen) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebagai unit terkait.
Lantas, sebenarnya apa redenominasi? Mengapa redenominasi dilakukan dan apakah nominal mata uang Indonesia akan berubah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1?
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai rupiah yang jika dilakukan bakal memudahkan transaksi di masyarakat dan penyusunan laporan neraca keuangan perusahaan.
Redenominasi akan memangkas 3 digit nilai rupiah dari belakang. Misalnya, dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, atau dari Rp 1.000.000 menjadi Rp 1.000.
Advertisement