Rupiah Bergerak Melemah Usai Pidato Gubernur Bank Sentral AS

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.655 per dolar AS hingga 14.710 per dolar AS.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 28 Agu 2020, 10:46 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2020, 10:45 WIB
Rupiah Menguat di Level Rp14.264 per Dolar AS
Pekerja menunjukan mata uang Rupiah dan Dolar AS di Jakarta, Rabu (19/6/2019). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sore ini Rabu (19/6) ditutup menguat sebesar Rp 14.269 per dolar AS atau menguat 56,0 poin (0,39 persen) dari penutupan sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar )

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan Jumat ini. Rupiah melemah karena pengaruh dari pidato Gubernur Bank Sentral AS. 

Mengutip Bloomberg, Jumat (28/8/2020), rupiah dibuka di angka 14.655 per dolar AS, menguat tipis jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.660 per dolar AS. Namun kemudian rupiah langsung melemah ke 14.697 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.655 per dolar AS hingga 14.710 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 6 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatik di angka 14.702 per dolar AS, menguat tipis jika dibandingkan dengan patokan sebelumnya yang ada di angka 14.714 per dolar AS.

Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat ini tertekan seiring sinyal dovish atau pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral AS The Fed.

Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra di Jakarta, Jumat, mengatakan, semalam pidato Gubernur The Fed Jerome Powell di pertemuan para pejabat bank sentral dunia Jackson Hole secara virtual memberikan gambaran yang dovish atau pesimis mengenai kondisi ekonomi AS dan ingin mendorong inflasi AS melebihi target inflasi saat ini di atas 2 persen.

"Ini memberi indikasi bahwa The Fed akan mengeluarkan kebijakan pelonggaran moneter yang mungkin lebih agresif untuk membantu memulihkan ekonomi AS. Sikap ini mendukung pelemahan nilai tukar dolar AS," ujar Ariston.

Tapi di sisi lain, lanjut Ariston, pernyataannya ditangkap oleh pelaku pasar bahwa inflasi di AS ke depan akan lebih tinggi dari saat ini.

"Inflasi yang naik biasanya mendorong penguatan nilai tukarnya sehingga semalam dolar AS menguat terhadap nilai tukar lainnya," katanya.

Ia menuturkan, secara keseluruhan sikap The Fed tersebut akan memberikan sentimen positif ke depan untuk aset berisiko karena memberikan stimulus ke pasar untuk mendorong kenaikan inflasi dan membantu pemulihan ekonomi di AS.

"Tapi reaksi pasar semalam dengan penguatan dolar AS mungkin akan terbawa ke pasar Asia pagi ini yang bisa memberikan tekanan ke nilai tukar emerging market," ujar Ariston.

Menurut Ariston, rupiah mungkin bisa tertekan di awal perdagangan terhadap dolar AS dan bisa saja menguat di akhir perdagangan dengan sentimen di atas.

Ariston memperkirakan rupiah berpotensi melemah di kisaran 14.550 per dolar AS hingga 14.750 per dolar AS.

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan video pilihan berikut ini:

Dampak Skema Burden Sharing, Rupiah Bakal Makin Tergerus?

FOTO: Bank Indonesia Yakin Rupiah Terus Menguat
Teller menghitung mata uang Rupiah di Jakarta, Kamis (16/7/2020). Bank Indonesia mencatat nilai tukar Rupiah tetap terkendali sesuai dengan fundamental. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Keputusan pemerintah meminta Bank Indonesia (BI) mendanai sebagian defisit anggarannya yang semakin membengkak turut berimbas pada rupiah. Nilai tukar mata uang garuda tersebut menjadi salah satu yang terburuk di Asia sepanjang 2020 ini.

Pemerintah sebelumnya mengajukan burden sharing, dimana bank sentral membeli obligasi pemerintah senilai Rp 397,6 triliun. Utang tersebut bakal bantu membiayai defisit anggaran yang membesar akibat peningkatan pengeluaran guna memerangi virus corona (Covid-19).

 

Program monetisasi utang ini dianggap sebagai cara yang tidak familiar, dimana hanya dipakai oleh bank sentral di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan kawasan Eropa. Tapi pada kenyataannya, semakin banyak bank sentral di negara berkembang seperti Filipina dan Afrika Selatan yang juga telah mengadopsi beberapa bentuk pelonggaran kuantitatif.

"Meski BI telah membeli obligasi pemerintah, itu (monetisasi utang) cukup mengejutkan untuk pasar di negara berkembang," kata Direktur Investasi Pendapatan Tetap M&G Investments Pierre Chartres, seperti dikutip CNBC, Jumat (21/8/2020).

Sejak Pemerintah RI mengumumkan program monetisasi utang bulan lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah turun 2 persen. Para investor juga khawatir langkah tersebut bakal menperluas basis moneter, yang pada akhirnya bakal semakin membuat rupiah lemah.

Direktur dan Analis Utama Fitch Ratings untuk Indonesia, Thomas Rookmaaker mengemukakan, jika dihitung sepanjang tahun ini, kurs rupiah telah menciut 6 persen terhadap dolar AS, menjadikannya mata uang berkinerja terburuk di Asia.

"Pihak otoritas sudah mengindikasikan bahwa monetisasi utang akan dilakukan satu kali tahun ini. Pada saat bersamaan, hal tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan terkait pendekatan kebijakan Indonesia untuk jangka menengah," ungkapnya.

"Jika itu terjadi berulang kali selepas 2020 ini, maka berpotensi meningkatkan campur tangan pemerintah dalam kebijakan moneter, dan dapat menurunkan kepercayaan investor," dia menambahkan.

Cara Pemerintah RI memonetisasi utang dalam beberapa hal berbeda dari bank sentral AS, The Fed yang membeli aset di bawah program pelonggaran kuantitatif. Aksi pembelian The Fed sebagian besar dilakukan melalui pasar terbuka, sementara BI membeli Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan pemerintah lewat penempatan pribadi, dan tidak akan menerima bunga atas obligasi tersebut.

Selain itu, BI juga akan menjadi pembeli siaga dan bantu membayar suku bunga untuk obligasi pemerintah senilai Rp 177 triliun, yang bakal dijual di pasar lelang.

"Pendekatan BI yang bertujuan untuk mengurangi beban bunga bagi pemerintah dengan tetap mempertahankan tingkat suku bunga lebih tinggi, juga daya tarik utang untuk sektor swasta, terbilang cukup inovatif," ujar Pierre Chartres.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya