Liputan6.com, Jakarta - Perum Bulog akan segera membangun pabrik sagu untuk mengoptimalkan potensi sagu yang ada di Indonesia. Menurut data Kementerian Pertanian, potensi lahan sagu Indonesia mencapai 5,5 juta hektare, namun baru dimanfaatkan 5 persennya saja.
Direktur Utama Bulog Budi Waseso menyatakan, rencana pembangunan pabrik ini sudah dimulai dan akan dilakukan di 20 wilayah.
Baca Juga
"Ada program Bulog ke depan, yang menjadi prioritas adalah 20 wilayah akan segera kita bangun pabrik pengolahan sagu, termasuk singkong. Ini akan menjadi prioritas," ujar Budi dalam konferensi pers virtual, Selasa (20/10/2020).
Advertisement
Budi menyatakan, pihaknya juga telah bekerjasama dengan pihak swasta untuk membangun pabrik tersebut. Nantinya, jika sagu ini sudah bisa dioptimalkan, maka akan memiliki potensi besar untuk menjadi alternatif pangan pokok selain beras.
"Karena memang, sagu ini bisa diolah macam-macam, bisa untuk tepung, kue, makanana jadi dan lainnya. Ini berpotensi menjadi industri pangan," jelasnya.
Jika sudah dioptimalkan dengan baik, maka sagu juga bisa dikembangkan sebagai salah satu komiditi ekspor. Bulog sendiri sudah bekerjasama dengan pihak swasta untuk memproduksi produk sagu mie, alias mie dari bahan pokok sagu.
"Ini sudah kita publikasikan, sudah kita kenalkan, ini akan kita perluas di seluruh Indonesia," ujarnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Menperin Ingin Pengembangan Sagu jadi Proyek Strategis Nasional
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia terus berkomitmen mengembangkan industri sagu nasional baik di hulu sampai ke hilir. Bahkan pengembangan sagu nasional tidak menutup kemungkinan ke depan akan dimasukan ke dalam proyek strategis nasional (PSN).
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pemerintah sendiri sebetulnya sudah memasukan program sagu dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJMN) 2020-2024. Artinya, pemerintah sudah atau sejak awal memandang sagu sebagai bagian penting dan strategis bagi ketahanan pangan nasional.
"Hilirisasi produk sagu ini diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat dan juga bangsa. Nilai tambah juga bagi penyerapan tenaga kerja, peningkatan potensi pajak dan pendapatan asli daerah yang pada akhirnya akan tingkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut," kata dia dalam Peluncuran Pekan Sagu Nasional 2020, di Jakarta, Selasa (20/10).
Dia melanjutkan, pemaanfaatan sagu ini juga sejalan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo dalam melakukan pembangunan indonesia melalui wilayah pinggiran. Di mana 50,33 persen total tanaman sagu berada di tanah Papua, Sehingga pemerintah telah jadikan program peningkatan pengelolaan sagu nasional sebagai salah satu program prioritas.
"Banyak yang tidak memahami, mengetahui bahwa pemerintah sudah masukan program sagu dalam rencana pembangunan jangka menengah 2020-2024," katanya.
Dia melanjutkan, sebetulnya nanyak bentuk produk turunan sagu. Seperti glukosa dan dextrin. Glukosa sendiri dihasilkan dari pemanfaatan pati dan dapat dimanfaatkan untuk jadi ethanol sebagai bahan pengganti fossil fuel dan fruktosa yang bisa dipergunakan dalam industri makanan minuman. Selain itu glukosa dapat juga dijadikan asam organik untuk industri kimia dan farmasi, serta sektor energi.
Advertisement
Industri Farmasi
Kemudian sagu juga dapat dimanfaatkan untuk jadi dextrin yang bisa dimanfaatkan untuk industri kayu, kosmetik, farmasi dan pestisida. "Bisa dibayangkan betapa besarnya potensi ketika kita kembangkan downstream dari produk sagu ini sendiri," jelasnya.
Agus mengatakan, sejauh ini baru ada 5,9 persen lahan sagu yang bisa dimanfaatkan. Sehingga tentu pemerintah melihat sisi positifnya, di mana room to grow masih besar. "Potensi untuk tumbuh masih sangat besar. Oleh sebab itu pemerintah berkomitmen untuk mengawal tumbuhnya industri berbasis sagu maupun sagu sebagia bahan pangan," ungkapnya.
Di sisi lain, penyerapan tenaga kerja juga masih rendah di sektor ini tercatat hanya ada 280 ribu keluaga. Untuk itu, jika pemerintah bisa dorong pemanfaatan lahan sagu yang ada di tanah Papua dari 5 persen rata-rata jadi 15 persen saja, betapa besar penyerapan tenaga kerja yang bisa dimanfaatkan di sana.