Liputan6.com, Jakarta - Maret 2021 ini tepat 1 tahun virus Corona atau Covid-19 masuk ke Indonesia. Pada 2 Maret 2020 Pemerintah Indonesia mengumumkan kasus pertama pasien terinfeksi virus tersebut.
Kemunculan virus Corona ini menjadi pukulan berat bagi perekonomian Indonesia. Seluruh sektor usaha termasuk UMKM ikut terkena imbas.
Covid-19 juga berdampak pada kinerja ekspor impor, angka kemiskinan, inflasi, nilai tukar rupiah hingga kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Ujungnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dipaksa masuk ke jurang resesi akibat tumbuh minus.
Advertisement
Berikut dampak setahun Covid-19 terhadap ekonomi yang dirangkum Liputan6.com:
1. Pertumbuhan Ekonomi Minus, Indonesia Resesi
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang 2020 terkontraksi minus 2,07 persen. Ini menandakan Indonesia masih terjebak dalam jurang resesi akibat pertumbuhan ekonomi negatif selama tiga kuartal beruntun.
"Pertumbuhan ekonomi kita secara kumulatif pada 2020 mengalami kontraksi 2,07 persen," kata Kepala BPS Kecuk Suhariyanto dalam sesi teleconference, Jumat (5/2/2021).
Secara kuartalan (quarter to quartet/qtq), pertumbuhan ekonomi di kuartal IV 2020 mengalami kontraksi 0,42 persen dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara secara tahunan (year on year/yoy), ekonomi Indonesia mengalami kontraksi minus 2,19 persen.
Meski sedikit mengalami perbaikan, capai tersebut otomatis membuat Indonesia masih terjebak resesi sepanjang tiga kuartal. Pada kuartal II 2020 ekonomi Indonesia terkontraksi minus 5,32 persen, dan minus 3,49 persen pada kuartal III 2020.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
2. Angka Inflasi 2020 Terendah dalam Sejarah
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka inflasi pada Desember 2020 mencapai 0,45 persen. Dengan begitu, angka inflasi sepanjang 2020 di angka 1,68 persen. Angka tersebut merupakan terendah sepanjang BPS mengumumkan data inflasi.
“Untuk tahun 2020 (inflasi) sebesar 1,68 persen. Ini kalau kita bandingkan sampai 2014, ini menunjukkan inflasi yang terendah,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto, di Jakarta, Senin (4/1/2020).
Ia pun kemudian merincikan angka inflasi setiap tahun mulai dari 2014 yaitu sebesar 8,36 persen, kemudian menurun menjadi 3,35 persen pada 2015, kemudian pada 2016 sebesar 3,02 persen, dan 2017 sebesar 3,61 persen.
Selanjutnya pada 2018 tingkat inflasi mencapai 3,13 persen dan 2019 inflasi tercatat sebesar 2,72 persen.
Advertisement
3. Surplus Neraca Perdagangan 2020 Terbesar Sepanjang Sejarah Indonesia
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menyebut neraca perdagangan tahun 2020 memperoleh surplus terbesar sepanjang sejarah Indonesia yakni USD 21,7 miliar.
“Total daripada trade nonmigas kita adalah surplus USD 21,7 miliar, seperti saya utarakan ini adalah salah satu surplus terbesar dalam sejarah Indonesia terutama pasca daripada finansial krisis tahun 1998,” kata Mendag dalam konferensi pers Trade Outlook 2021, Jumat (29/1/2021).
Kendati surplus, tetap saja ekspor non migas Indonesia terkoreksi. Jika dilihat hasil dari pada ekspor 2020 nilainya USD 163,3 miliar yang merupakan perolehan dari ekspor Migas sebesar USD 8,3 miliar dan non migas sebesar USD 155 miliar.
Mendag menjabarkan struktur ekspor non migas kita terkoreksi sekitar 29,54 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan ekspor daripada non migas terkoreksi hanya 0,58 persen dari pada tahun 2019 yang jumlahnya mencapai USD 155,9 miliar.
“Dengan semua kajian PSBB pandemi, kita merasa bahwa angka USD 155 miliar itu koreksi yang tidak sampai 0,6 persen ini menunjukkan bahwa resilience (ketahanan) daripada ekspor kita,” jelasnya.
Sedangkan untuk total impor tahun 2020 mencapai USD 141,6 miliar, namun terkoreksi sekitar 17,35 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sehingga bisa diketahui bahwa impor migas lah yang yang membuat neraca perdagangan terseok-seok.
4. Sepanjang 2020, Nilai Tukar Rupiah Melemah 2,66 Persen
Bank Indonesia mencatat, selama tahun 2020 secara rerata nilai tukar Rupiah melemah 2,66 persen ke level Rp 14.525 per dolar Amerika Serikat. Sebab pada pada tahun 2019 nilai tukar Rupiah berada di level Rp 14.139 per dolar Amerika Serikat.
"Secara rerata keseluruhan tahun 2020, nilai tukar Rupiah melemah 2,66 persen ke level Rp 14.525 per dolar AS, dari Rp 14.139 per dolar AS pada 2019," tulis Bank Indonesia dalam Buku Laporan Perekonomian Indonesia 2020 yang diluncurkan pada Rabu, (27/1).
Sebagaimana diketahui, Rupiah sempat tertekan di awal virus corona mewabah di Indonesia. Rupiah tertekan hingga mencapai Rp 16.575 per dolar AS pada 23 Maret 2020.
Pada semester II-2020, Rupiah terapresiasi 1,46 persen secara point-to-point (ptp). Hal ini juga sertai dengan volatilitas yang menurun tajam dari 22 persen pada Juni 2020 menjadi 2,65 persen pada Desember 2020.
Secara point-to-point (ptp), Rupiah terdepresiasi 1,19 persen dan ditutup di level Rp 14.050 per dolar Amerika Serikat pada akhir 2020. Meskipun Rupiah terdepresiasi secara tahunan, depresiasi Rupiah lebih terbatas dibandingkan dengan pelemahan beberapa mata uang negara berkembang lainnya, seperti Rand Afrika Selatan, Lira Turki, dan Real Brazil.
Advertisement
5. Tutup 2020, IHSG Melemah ke 5.979
Pada penutupan perdagangan di 2020, yaitu pada Rabu (30/12/2020), IHSG melemah 57,1 poin atau 0,95 persen ke posisi 5.979,07. Sementara, indeks saham LQ45 juga melemah 1,13 persen ke posisi 934,88.
Selama perdagangan, IHSG berada di posisi tertinggi pada level 6.055,97 dan terendah 5.962,01.
Pada sesi penutupan pedagangan, 143 saham menguat tetapi tak mampu membawa IHSG ke zona hijau. Sementara itu, sebanyak 365 saham melemah sehingga menekan IHSG dan 118 saham diam di tempat.
Transaksi perdagangan saham cukup ramai. Total frekuensi perdagangan saham 1.172.725 kali dengan volume perdagangan 24,7 miliar saham. Nilai transaksi harian saham Rp 14,5 triliun.
6. Utang Pemerintah 2020 Duduki Peringkat 154 di Dunia
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo meminta masyarakat dapat dengan bijak melihat posisi utang pemerintah sepanjang 2020. Dia ingin masyarakat tidak hanya sekedar menilai namun mesti ada pembandingan jelas dalam melihat posisi utang Indonesia.
Berdasarkan data World Economic Outlook database 2020 milik IMF, diantara 187 negara, utang pemerintah di tahun 2020 berada di peringkat 154 dunia. Yakni hanya mencapai sekitar 38 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Menilai itu membandingkan. Baiklah kalau tak boleh bicara aman dan lebih baik. Ini sekadar peringkat rasio utang terhadal PDB. Di dunia, Kita sekitar urutan 154 (rendah banget), di ASEAN hanya di atas Kamboja dan Brunei," jelas dia seperti dikutip dari akun Twitternya @prastow, Sabtu (27/2/2021).
Berdasarkan posisi data, posisi utang Kamboja selama 2020 lebih rendah hanya mencapai sebesar 31,47 persen dari PDB negara tersebut. Sementara posisi utang Brunei Darussalam hanya mencapai 3,20 persen dari PDB.
Adapun jika melihat posisi utang India dan Singapura posisi utangnya sudah hampir di atas 50 persen dari PDB. Di mana masing-masing tercatat 89,33 persen dan 131,18 dari PDB-nya.
Advertisement
7. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tembus 27,55 Juta Orang
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,55 juta orang pada September 2020, atau setara dengan 10,19 persen dari total penduduk di Indonesia. Angka ini naik 1,13 juta orang (0,41 persen) dibandingkan posisi Maret 2020, juga meningkat 2,76 orang dibanding September 2019.
Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan, peningkatan penduduk miskin pada September 2020 sebagian besar terjadi di perdesaan sebesar 13,20 persen. Sementara untuk posisi perkotaan hanya sebesar 7,88 persen.
"Kalau kita lihat komposisi penduduk miskin antara kota dan desa persentase penduduk miskin di pedesaan masih jauh lebih tinggi dibandingkan di kota," kata dia di Kantornya, Jakarta, Senin (15/2/2021).
Hanya saja, menurut BPS ada perbedaan cukup signifikan pada posisi penduduk miskin di September 2020, di mana sebagian besarnya lebih berdampak di perkotaan. Hal ini terlihat dari jika dibandingkan posisi September 2019 ada peningkatan sebesar 1,32 persen. Sementara, posisi penduduk miskin di perkotaan hanya meningkat 0,60 persen.
8. 2,56 Juta Orang Jadi Pengangguran Gegara Pandemi Covid-19
Dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor ketenagakerjaan tidak bisa dianggap remeh. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, pandemi Covid-19 telah memberikan dampak bagi 29,12 juta penduduk usia kerja. Beberapa diantaranya menjadi pengangguran.
Ida merincikan, sebanyak 2,56 juta menjadi pengangguran karena Covid-19. Lalu, 0,76 juta bukan angkatan kerja juga ikut kena dampak Covid-19, begitu pula dengan 1,77 juta orang yang dirumahkan atau tidak bekerja sementara.
"Lalu ini yang paling banyak, 24,03 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja atau shorten hours karena Covid-19," jelas Menaker dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (25/11/2020).
Lebih lanjut, dari total 203,9 juta penduduk usia kerja, persentase penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19 mencapai 14,28 persen, sedangkan angkatan kerja yang terdampak Covid-19 mencapai 20,51 persen.
Advertisement