Pemerintah Sudah Tarik Utang Rp 550 Triliun, Sri Mulyani: Jauh Lebih Kecil dari Target

Realisasi pembiayaan utang per Agustus 2021 mencapai Rp 550,6 triliun atau baru terealisasi 46,8 persen dari target APBN 2021.

oleh Tira Santia diperbarui 24 Sep 2021, 10:12 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2021, 10:10 WIB
Sri Mulyani Rapat dengan Komisi XI DPR Bahas Pagu Indikatif Kemenkeu
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) bersiap mengikuti rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/6/2021). Rapat tersebut membahas pagu indikatif Kementerian Keuangan dalam RAPBN 2022. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi pembiayaan utang per Agustus 2021 mencapai Rp 550,6 triliun atau baru terealisasi 46,8 persen dari target APBN 2021.  Realisasi pembiayaan utang ini turun 20,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020.

“Realisasi pembiayaan (utang) sampai dengan tahun ini akhir Agustus mencapai Rp 550,6 triliun. Hanya 46,8 persen ini sudah bulan Agustus, jadi jauh lebih kecil dari yang ditargetkan. Kalau kita lihat growth-nya bahkan dibanding tahun lalu terjadi negatif growth dari pembiayaan utang kita yaitu 20,5 persen,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa September 2021, dikutip Jumat (24/9/2021).

Menkeu menjelaskan pembiayaan utang didukung oleh dua komponen yaitu Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman (netto). Adapun realisasi penarikan utang melalui SBN secara neto hingga akhir Agustus sebesar Rp 567,4 triliun.

“Coba kita lihat SBN netonya, di dalam undang-undang APBN disebutkan bahwa SBN Netto target tahun ini akan mencapai Rp 1.207,3 triliun dan kita sampai dengan akhir Agustus mengisu Rp 567,4 triliun atau 47 persen bahkan kurang dari 50 persen padahal ini sudah bulan ke-8,” ujarnya.

Menurutnya, pembiayaan utang turun 20,5 persen lantaran ada penyesuaian target penerbitan SBN  melalui empat faktor, pertama, menggunakan Sisa Anggaran Lebih (SAL) tahun 2020.

“Kenapa itu terjadi? ada penyesuaian target dari penerbitan surat berharga netto kita, karena kita menggunakan sisa anggaran lebih tahun lalu. Jadi sering disebutkan waktu itu oleh beberapa DPR atau beberapa pengamat kita punya SAL ini digunakan pada saat seperti sekarang ini,” ujarnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Surat Berharga Negara

FOTO: Sri Mulyani Bahas Program PEN Bersama Komisi XI DPR
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) dan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana (kanan) saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/8/2020). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sehingga urgensi untuk penerbitan surat berharga bisa diturunkan. Faktor kedua, yakni penyesuaian investasi. Ketiga, kesepakatan Pemerintah dengan Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) III untuk memborong pembelian obligasi Pemerintah. Keempat, proyeksi penyesuaian defisit APBN.

“Jadi kita melakukan untuk penggunaan SAL, menyesuaikan investasi kita dan juga karena ada SKB III  dengan Bank Indonesia yang menyebabkan secara urgensi untuk kebutuhan untuk penerbitan surat utang negara bisa diturunkan dan turunnya cukup drastis 20,5 persen dibandingkan tahun lalu,” ujarnya.

Menkeu menegaskan, peranan Bank Indonesia sangat penting dalam mendukung pembiayaan utang. Bahkan hingga 15 September 2021, Bank Indonesia sudah membeli SBN sebanyak Rp 139,8 triliun.

“Sampai dengan 15 September Bank Indonesia sudah membeli Rp 139,8 triliun dalam bentuk SUN Rp 95,6 triliun dan SBSN Rp 44,25 triliun,” pungkasnya.   

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya