Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati terus mewaspadai gejolak ekonomi di tingkat global yang berpotensi mempengaruhi ekonomi Indonesia. Termasuk utang bernilai super besar milik Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan pengembang properti China, Evergrande Group.
Sri Mulyani tak ingin hal-hal itu berdampak terhadap perekonomian nasional. Terlebih saat ini Pemerintah Negeri Paman Sam tengah merumuskan kebijakan pengetatan moneter (tapering off) yang juga diwaspadai oleh negara-negara dunia.
"Ada beberapa persoalan seperti Evergrande di Tiongkok atau terjadinya pembahasan debt ceiling di Amerika Serikat. Ini menjadi faktor yang kita waspadai, dan kemungkinan terjadinya tapering moneter di Amerika Serikat," ujarnya dalam sesi webinar, Rabu (29/9/2021).
Advertisement
Belajar dari kasus di Amerika Serikat dan China, Sri Mulyani ingin Pemerintah RI lebih berhati-hati dalam mengelola utang. Sehingga kemudian tidak memberatkan belanja negara.
"Kita juga mengendalikan kenaikan utang pada APBN kita agar menjadi sehat. Tahun 2022 fokusnya adalah reformasi struktural, fiskal dan komitmen kementerian/lembaga dan APBN secara baik," ungkapnya.
Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Utang AS
Seperti diketahui, Pemerintah AS kini tengah dihadapkan pada kemungkinan akan kehabisan dana untuk membiayai belanja negara bila batas utang (debt ceiling) tidak segera dinaikan.
Adapun nilai utang Pemerintah AS saat ini adalah USD 28,781 triliun atau setara Rp 410.129 triliun. Jumlah itu sudah melampaui batas utang sebesar USD 28,4 juta atau sekitar Rp 404.529 triliun.
Apabila batas utang tidak dinaikkan hingga 1 Oktober 2021, maka Pemerintah AS terpaksa ditutup sementara karena ketiadaan anggaran. Jika terwujud, maka akan menjadi shutdown ketiga dalam satu dekade terakhir.
Krisis utang bernilai raksasa juga melilit Evergrande, salah satu perusahaan properti besar asal China. Perusahaan tersebut memiliki total liabilitas USD 305 miliar. Itu dikhawatirkan dapat meruntuhkan stabilitas keuangan China maupun dunia.
Advertisement