Liputan6.com, Jakarta Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ ADB) memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi bagi negara berkembang Asia.
Prediksi diubah seiring kemunculan varian omicron dan meningkatnya infeksi virus corona secara global menunjukkan bahwa pandemi masih jauh dari selesai.
Produk domestik bruto Asia diramal tumbuh 7 persen tahun ini, turun sedikit dari perkiraan awal sebesar 7,1 persen pada September.
Advertisement
Ini mengutip Asian Development Outlook Supplement yang dirilis ADB melansir Bloomberg, Rabu (15/12/2021).
Ekspansi dikatakan akan menandai pembalikan arah dari kontraksi 0,1 persen pada tahun lalu, dan berada pada posisi moderat menjadi 5,3 persen pada 2022. Masih, prediksi pertumbuhan ekonomi ini lebih lambat dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,4 persen.
“Asia yang sedang berkembang diperkirakan akan mempertahankan rebound kuatnya seperti yang diperkirakan pada bulan September,” mengutip penjelasan ADB.
Namun dikatakan jika kemunculan varian virus corona omicron yang sangat bermutasi baru-baru ini adalah pengingat penting yang harus diperhatikan jika pandemi kemungkinan masih berlanjut.
China, ekonomi terbesar di kawasan ini, diperkirakan akan tumbuh lebih lambat sebesar 8 persen pada 2021 ini dan diramal tumbuh 5,3 persen di 2022.
Kemudian pertumbuhan ekonomi India diturunkan menjadi 9,7 persen untuk tahun fiskal yang dimulai 1 April 2021.
Asia Tenggara
Prospek Asia Tenggara juga dipangkas menjadi 3 persen untuk tahun 2021 di tengah ekspektasi pertumbuhan yang lebih lambat di Malaysia dan Vietnam.
"Pendekatan Covid-zero Beijing dapat sangat mengganggu kegiatan ekonomi, sementara gelombang infeksi baru dapat membalikkan pembukaan kembali di banyak negara," kata ADB. Pembatasan perjalanan juga meredam prospek pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada pariwisata, katanya.
Di sisi lain, inflasi regional disebut tetap terkendali, dengan perkiraan direvisi turun menjadi 2,1 persen untuk 2021 dan tidak berubah sebesar 2,7 persen pada 2022. Kondisi ini akan memungkinkan kebijakan moneter tetap mendukung.
Namun, risiko kenaikan inflasi dapat mendorong AS untuk mengetatkan kebijakan moneter lebih awal dan memicu volatilitas keuangan.
Dikatakan jika sebagian besar negara berkembang di Asia telah meningkatkan peluncuran vaksin mereka, tetapi kemajuannya masih sangat bervariasi.
Advertisement